Namanya juga uneg-uneg. Ya.. tempat nulis segala macam uneg!!!

Thursday, September 29, 2005

Setetes Embun..

Ntah kebetulan belaka.. ntah merupakan jawaban , ntah merupakan harapan, ntah hanya fatamorgana belaka. Setelah sebelumnya kulukiskan keputusasaan ku melihat degradasi bangsa ini (Korupsi oh korupsi, 13 September 2005), perlahan-lahan kurasakan adanya setitik harapan. Setitik harapan, setetes embun di tengah kehausan,

Mereka,
perwira-perwira muda itu,
berseragam polisi….., tetapi bukan “seragam” polisi yang dulu
Berwenang, tidak sewenang-wenang,
Berpeluang, tapi tak menumpuk uang..

Merekalah, generasi baru perwira muda POLRI yang memiliki komitment , cita-cita , visi yang sama, untuk mengembalikan POLRI sebagai pelindung dan penegak hukum bangsa. Melindungi and Melayani, begitu mottonya

Mereka, di awal 30 tahun usia mereka , banyak ‘prestasi’ yang cukup menjanjikan pada kita.

Merekalah yang berani mempertaruhkan karir mereka membuka aib borok borok di tubuh Polri, di bahas dalam kajian ilmiah. Dikemukakan untuk jadi bahan perbaikan.
http://geocities.com/hukum_indonesia/ptik.html
Mereka jugalah yang berada di balik pembongkaran kasus kasus penyelundupan BBM baru-baru ini, di Lawi-lawi, di Batam ataupun Cilacap, di tempat-tempat lainnya

Mereka jugalah motor penggerak mesin KPK dalam memberantas Korupsi,
Mereka.. mereka... mereka..

Keberadaan mereka bukanlah datang tiba tiba atau kebetulan belaka. Mereka telah dikumpulkam, dipersiapkan, direncanakan dan diarahkan jauh jauh hari sebelumnya. 15 tahun yang lalu, diusia belia mereka (15-16 tahun), mereka rela meninggalkan segala bentuk kemanjaan, kemewahan tinggal bersama keluarga.
Di saat remaja lainnya bermanja-manja ria bersama ayah, bunda, aa, teteh, oom, tante, mereka memilih untuk menggembleng diri di sebuah institusi yang banyak orang-orang bilang sebagai sekolah semi militer:>SMU Taruna Nusantara-Magelang.
Sekolah dimana seluruh muridnya harus tinggal di asrama, sekolah di mana selama 3 bulan pertama tidak boleh menerima kunjungan dari siapapun-tidak boleh keluar ke manapun, sekolah dimana kegiatan di mulai pukul 05.05 pagi: sholat shubuh, lari pagi, senam pagi, dan diaakhiri apel di malam hari pukul 22.00. Sekolah yang tidak hanya mementingkan aspek akademis, tapi juga mengutamakan aspek kesamaptaan jasmani dan kepribadian ( http://taruna-nusantara-mgl.sch.id/)

“KAMPUS SMA TARUNA NUSANTARA”
Dipersembahkan untuk masa depan bangsa dan negara
Magelang, 14 July 1990

Begitu bunyi yang terpatri dalam prasasti pendirian sekolah ini. Tampaknya “persembahan” itu, tidak sia-sia. Sedikit demi sedkit bangsa ini merasakan darma bakti alumni-alumni sekolah ini (http://www.ikastara.org/) . “Mereka”, Mereka yang kukemukaan di awal tulisan ini tak lain adalah Alumni-alumni sekolah ini yang memilih POLRI sebagai tempat pengabdian mereka.

Jalan masih panjang, tidak sedikit hambatan dan godaan yang akan mereka hadapi
Akankah candu korupsi menggoda mereka di kemudian hari?
Akankah mereka akan mengikuti senior-senior mereka?
menumpuk harta ratusan milyar bahkan trilyunan? Akankah?
Walllahualam… Tak ada yang tahu.

Tapi, setidaknya, kita boleh berharap pada mereka dari apa yang telah mereka tunjukkan sampai saat ini
Di surat-surat elektronik yang mereka kirimkan, Kerap kali mereka berbagi cerita, berbagi pandangan, keprihatinan, kekhawatiran, “kegemasan” yang sama pada korupsi yang merongrong bangsa ini.

Mereka.. memiiki cita-cita yang sama dengan kita. Cita-cita untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini.

Ahh.. semoga mereka tidak berubah. Tetap memiliki komitmen dan kejujuran yang sama di saat bintang-bintang bertaburan di bahu mereka nantinya.

Semoga.
Taipei, 29 September 2005

Tuesday, September 13, 2005

Korupsi.. Oh Korupsi

Terdengar lagi berita korupsi.. kali ini berkaitan dengan penyelundupan minyak besar-besaran, nggak tanggung-tanggung, kerugian negara mencapai 8 Trillion rupiah. Dan kali ini, pelakunya juga melibatkan “wong cilik” : Juru masak, Juru Mudi, pekerja kontrak, yang tertinggi hanyalah kepala jaga. Jadi, korupsi tidak lagi “exclusive” buat para penggede saja, tapi juga sudah “down to earth”, juga dilakukan di kalangan “wong cilik”. (http://kompas.com/utama/news/0509/09/152704.htm)

Dulu, Setiap kali saya mendengar berita terungkapnya kasus korupsi, reaksi saya adalah: marah, geram, sebal, menghujat, mencibir, dll.. dll. Waktu mahasiswa dulu, begitu fasihnya lidah ini meneriakkan hujatan-hujatan seperti : “Gantung Koruptor!!!, Hukum mati koruptor!!!” dsb dsb. Sekarang, lidah terasa kelu, tak terucap lagi hujatan-hujatan seperti dulu.

Why?
Setelah ratusan kasus korupsi terungkap di negeri ini seperti :



  • KPU yang anggotanya telah diseleksi secara ketat, dan diisi oleh orang-orang yang (katanya) memiliki “integritas” tinggi, seperti: Akademisi, aktivis LSM, mantan aktivis Mahasiswa, pemimpin “grass root”, dll, terjebak dalam skandal dugaan korupsi kolektif di lembaga tersebut
  • Depag, yang seharusnya diis oleh orang-orang beragama, Mantan menteri nya malah diduga terlibat kejahatan korupsi besar-besar an.
  • Angkatan 45, angkatan 66 bahkan angkatan 98, yang disaat-saat negara dalam keadaan bahaya “rela” mempertaruhkan nyawa mereka, tapi di saat kekuasaan ada di tangan mereka, tidak sedikit diantara mereka yang menghadapi tuduhan-tuduhan kasus korupsi.
  • Anggota DPRD sumbar (mantan), didakwa telah melakukan korupsi kolektif
    dlll… dll
    dll…. dll… dll…..




muncul keraguan di benak saya: Jangan-jangan yang membedakan saya yang tidak pernah korupsi, dengan Para koruptor itu hanyalah : mereka (Para koruptor) punya kesempatan untuk melakukan korupsi, sementara saya tidak/ belum ada kesempatan untuk melakukannya.

Bagaimana tidak? Jika orang-orang terpilih seperti mereka-mereka yang disebutkan di atas mudah sekali terpeleset dalam perbuatan korupsi, Apalagi saya? saya orang biasa-biasa saja yang belum terbukti integritas nya.

Dulu saya berpikir, masalah Korupsi di Indonesia disebabkan oleh systemnya yang tidak sempurna. Sistem sentralisai otoriter yang di desain order baru memberi peluang luas bagi entity di dalam system tersebut untuk melakukan korupsi. Yang saya bayangkan waktu itu, sistem pemerintahan kita bagaikan sebuah kotak hitam, dimana di dalamnya terdapat sebuah proses misterius yang akan selalu menghasilkan suatu "output" yang korup, apapun inputnya. Tak peduli apakah dari angkatan 45, angkatan 66, tokoh tokoh agama, pemuka masyarakat, pemuka-pemuka adat, dsb, darimanapun mereka berasal, begitu mereka menjadi input kedalam kotak hitam sistem pemerintahan tersebut, outputnya adalah sama : Pemerintahan Yang KORUP.


Sekarang, pemikiran saya jauh berbeda. Jatuhnya orde baru dan dimulainya orde reformasi, sempat memberikan secercah harapan. Harapan untuk membongkar dan mengganti "Kotak hitam" sistem pemerintahan kita, dengan "kotak yang lebih transparan", yang memiliki akuntabilitas yang tinggi .
Reformasi system pemerintahan/ kenegaraan kita, dari sudut pandang demokrasi, telah banyak memberikan kemajuan yang signifikan. System pemerintahan sudah bayak direformasi, keterwakilan rakyat di seluruh tingkat pemerintahan baik pusat dan daerah sudah banyak diakomodasi, kekekuasan sudah didesentralisai, kebebasan pers sebagai bagian kontrol masyarakat sudah dilindingi, aparat penegak hukum, dan lembaga perwakilan rakyat juga sudah diberakan peran pengawasn yang lebih kuat. Tetapi, tetap saja korupsi tetap saja terjadi di mana-mana, apa yang Salah?

Pertanyan ini telah menggiring saya pada suatu jawaban yang cukup “mengerikan”. Jawaban yang sangat-sangat tidak saya inginkan, yaitu: penyebabn korupsi yang sebenarnya ternyata bukanlah pada “system’-nya ” itu sendiri, tetapi terletak pada “input” yang masuk ke dalam system pemerintahan tersebut. Ya “input”. “Input” di sini adalah kita, kita semua masyarakat Indonesia.

Orang-orang yang ada berada di dalam system pemerintahaan adalah representasi dari kita, masyarakat Indonesia.. Kalau mereka korup, itu adalah cerminan masyarakat kita, masyarakat Indonesia yang korup.
Jadi, Bedanya kita dengan para koruptor itu hanyalah: mereka punya kesempatan untuk melakukannya, sementara kita tidak. Itu saja bedanya!!!!!

Pemikiran ini membuat saya harus menarik hipotesa awal saya yang menduga “ada yang tidak beres dengan systemnya”. Hipotesa saya yang baru adalah : yang tidak beres justru “Input”nya. Jadi, sebagus apapun system pemerintahan kita di desain/ diperbaiki, selama inputnya diambil dari masyarakat Indonesia generasi saat ini, outcome yang di hasilkan tetap sama, yaitu : KORUP!!!!.

Penutup
Yah, tulisan di atas cukup provokatif, sebenarnya saya cuma ingin membangkitkan kesadaran kita semua generasi muda, bahwa kita perlu menyiapkan diri tidak hanya dengan pengetahuan dan keterampilan tapi juga perlu mengasah dan menjaga integritas kita sebagai generasi penerus. Sehingga, pada saatnya kita mengambil alih estafet kepemimpinan dari generasi yang lebih tua, kita akan lebih memiliki ketahanan diri menghadapi segala macam “godaan” dan tantangan di masa depan.


Taipei, 13 September 2005

Monday, September 05, 2005

AKU

AKU
Aku anak ke tiga dari empat bersaudara, dilahirkan 30 tahun yang lalu di kota Palembang. Kota yang terkenal dengan “mpek-mpeknya”, pempek-makanan kegemaranku.
Namaku kecilku Heri, Mahendra Hariyanto lengkapnya. Tahu artinya apa? Mahendra berasal dari dua kata Maha dan Indra. Maha berarti besar Indra, bisa berarti dewa, atau bisa juga berarti raja. Sedangkan Hariyanto bermakna bijaksana. Jadi, secara keseluruhan Mahendra Hariyanto bermakna: Raja besar yang bijaksana.. hmm.. nama yang cukup “berat” sebenarnya.
Apakah kelak ku kan menjadi seorang Raja Besar ? Tak tahu. Tapi pertanda “Kebesaran” –ku sudah mulai terlihat, semakin hari perutku semakin besar, tidak hanya di bagian depan, tetapi juga dibagian kiri dan kanan.

Bapakku Jawa, Ibuku Palembang. Bapakku berkulit gelap, ibuku berkulit terang, putih halus seperti kulit wanita Cina. Lalu Bagaimana denganku? Aku? Aku kadang-kadang gelap.. kadang kadang terang. Gelap kalau habis berenang, terang kalau habis gajian. Tergantung.

20-25 tahun yang lalu, Waktu ku kecil, pernah kubertanya pada nenekku, sambil menunjukkan tahi lalat di kaki kiriku:
“Nek –nenek, lihat nek, aku punya tahi lalat di telapak kakiku. Artinya apa nek?” tanyaku

Nenekku yang sedang sibuk membaca catatan-catatannya tak mengacuhkan pertanyanku..

Aku bergegas mendekati nenekku, dan sejerus kemudian kupamerkan telapak kaki di depan hidung nenekku, tepat diatas buku catatan yang sedang dibacanya

Nenekku mungkin kesal dengan kelakuanku, selepas menghela napas panjang dia menjawab sekenanya:
“itu artinya nanti kamu akan selalu berkelana jauh…”
“betul nek?” sahutku
‘ iya – iya betul….’ Jawab nenekku acuh sambil menyingkirkan telapak kakiku yang bau itu dari hadapannya dan melanjutkan membaca buku catatannya.

Percakapan singkat 20 – 25 tahun yang lalu itu, masih kuingat sampai sekarang.
Mau tahu kenapa? Karena apa yang dibilang nenekku itu benar adanya.
Lihatlah sejarah sekolah/ tempat kerjaku: Lahir di Palembang, TK di Lampung, SD Di Lahat (Sumsel), SMP Di Lampung lagi, SMU di Magelang, Kuliah di Bandung. Pekerjaan pertama di Batam, kerjaan ke dua di Jakarta, kerjaan ke tiga di Bangkok, kerjaan ke empat (sekarang) di Singapore. Dan kerjaanku sekarang ini banyak menuntutku untuk berpergian jauh. Tahun ini, 6 bulan di Taipei, th depan 6 bulan di Jepang, th 2007 Korea, th 2008 New Zealand, terakhir th 2009 Indonesia… akh.. akhirnya pulang juga ke tanah airku yang ku cinta. “Di sanaaaa tempat lahir beta”


You See? Nenekku sakti juga kan? Jawaban ala kadarnya 25 tahun yang lalu telah menjadi kenyataan adanya.
Orang dulu sakti-sakti ya? Makanya.. buat kita-2 yang muda-2 jangan sekali kali tidak sopan dengan orang-orang yang lebih tua. Doa atau kutukan mereka mujarab menjadi kenyataan. Nggak percaya? Lihat aja tuh Si Malin Kundang yang jadi batu, or si Tumang yang jadi tangkuban perahu. Mau jadi kayak mereka?
Eitts… jangan dipikir kutukan-kutukan seperti itu tidak ada lagi di jaman sekarang ini. Mau bukti? Lihatlah politisi-politisi kita saat ini, banyak sekali diantara mereka yang “berkepala batu”, mereka semua pastilah telah mendapat kutukan seperti si Malin Kundang.

PERNIKAHANKU
Pernikahan adalah sebuah ‘keputusan yang besar’ dalam kehidupan kita. Aku menikah 14 Maret 2004, tepat 2 minggu sebelum kepindahanku ke Bangkok. Kuingat, dihari hari menjelang prnikahanku perasaan bercampur aduk: exciting, anxious dan juga nervous
Berikut, petikan surat “curhatan’ ku sekaligus undangan pernikahanku yang kukirimkan pada temanteman ku 2 minggu sebelum pernikahanku.


From: Mahendra Hariyanto Date:
Wed Mar 3, 2004 1:25 am S
ubject: Undangan...
mahendra.hariyanto@...
Send Email

Temans,
Tahu nggak sih... beberapa hari terakhir aku "nervous" banget.... kalau temen-temen bisa denger suara Jantungku kira-kira bunyinya gini : "dug.... dug... dug-dug.... dug... dug.... dug-dug...." makin lama, iramanya makin cepat dan rapat "dugdug-dugdug-dugdug"... begitulah bunyinya... mudah-2 an hari-hari ke depan aku nggak kebanyakan minum kopi, sehingga bunyi "dug-dug" itu tidak berubah menjadi tiiiitttttt..... (itu lho yang kayak di film, kalau orang sekarat di RS and ketemu malaikat... terus bunyi monitor nya... tiiiiiittttt).
Kenapa nervous? Yah itu... ada dua hal besar yang sebentar lagi akan ku hadapi, Pertama: menikah dan kedua: langsung pindah ke negara lain.. Saking nervous-nya aku minta nasihat ke pak de ku yang kebetulan pensiunan tentara: "Pak De, saat-saat in saya merasakan beban yang sangat berat, saya merasa seperti akan terjun ke medan tempur yang saya sama sekali tidak tahu bagaimana medannya, siapa yang harus saya hadapi, seberapa besar "misi" yang harus diemban.... dan lebih parah lagi, pertempuran itu harus dihadapi dengan "beban tanggung jawab" yang lebih besar, yaitu: istri yang harus juga saya selamatkan dari medan pertempuran itu"...
Pak de ku tersenyum mendengar curhat ku, sedetik kemudian meluncur kata-kata bijak Pak De ku: "Heri, Pak de pernah merasakan apa yang kamu rasa. Sebagai tentara, Pak de sering ditugaskan ke-daerah2 yang Pak de tidak tahu. Yang membuat Pak de bisa melewati semuanya justru karena adanya kehadiran "Bu de" mu ini yang selalu men-support Pak de melewati masa-masa sulit. Jadi nak, janganlah sekali-kali menganggap istrimu adalah beban tanggung jawab dalam menjalani kehidupan... tapi anggaplah dia sebagai Partner yang bisa membantu kamu dan keluargamu melewati semua beban itu "
Sebuah nasihat singkat... tapi cukup dapat merubah tempo irama detak jantungku menjadi normal kembali....(dug-dug) kuteringat senyum Elisa yang lembut akan selalu menghiasi hari-hari ku, kesabarannya yang tulus akan meluruhkan "ke-ngeyel-an ku", juga kesetiannya akan memberikan ketenangan batin ku dalam menghadapi segala "cobaan" (kata orang, di Bangkok banyak 'cobaan' keduniawian).
Sepulang dari rumah "Pak De", ingin rasanya ku bertemu Elisa-pacarku, berlutut dan berucap untuk ke dua kalinya : "Elisa, maukah kau menikah denganku?........"
Teman-teman bisa menebak kira-kira apa jawaban Elisa ? Untuk memastikannya: teman-teman diundang untuk hadir dan menyaksikan secara langsung acara kami berdua yang diadakan pada hari/tanggal/ jam sbb:


Minggu 14 Maret 2004, 11.00 - 13.00

Lokasi: Masjid Darul Hikam,
Jatiwaringin, Antilop, Pondok Gede - Bekasi.

Regards

Mahendra Hariyanto


ISTRIKU
Istriku cantik sekali tidak hanya “luarnya” tapi juga “dalamnya”. Namanya Elisa, tapi dia kerap kupanggil “Cinta”. Tahu kenapa dia kupanggil “Cinta”? Kubilang padanya kalau dia mengingatkanku pada tokoh “Cinta” dalam film “Ada Apa Dengan Cinta”.
“Gombal!!”
“Masak aku disamain sama “Dian Sastro”? Jauh bangeettt!!!” komentar istriku
“ Kamu benar cinta, kamu memang ‘Jauh banget’ dari Dian Sastro… Jauh lebih Cantik”. Jawabku tulus
“Gombaalllll!!!!!!” sekali lagi kata-kata itu keluar dari mulut istriku.

Itulah percakapanku dengan istriku , tepat sekitar 9 bulan 10 hari sebelum kelahiran anak pertamaku.


ANAKKU
Anakku lahir di Bangkok, 2 Desember 2004. Kunamai dia FEROZE SHAQUILLE HARIYANTO. Sebuah nama Persia. FEROZE berarti Sukses, Shaquille berarti “Ganteng”, sedangkan “Hariyanto” adalah nama belakangku yang dalam bahasa jawa kuno dapat diartika “Bijaksana”. Jadi FEROZE SHAQUILLE HARIYANTO berarti Sukses, Ganteng dan Bijaksana. Lagi-lagi, “nama yang berat” sebenarnya. Itulah nama yang kupilih. Nama yang juga berarti doa dan harapanku seperti apa dia nanntinya,

Ada kejadian menarik. Sekitar 2 bulan sebelum kelahiran anakku, aku bermimpi didatangi oleh seorang biksu tua. Dalam mimpiku, seolah-olah aku terbangun dan mendapati seorang biksu tua telah berdiri di samping tempat tidurku.

“Ku titipkan ini Padamu” Ucap si biksu tua seraya menyerah kan sebuah benda ke dalam gengganman tangan kananku.

Ku buka perrlahan-lahan genggaman tangan ku dan kudapati sebuah lonceng emas kecil dengan bendera Thailand terikat padanya. Tak ada kata yang terucap dariku, ku kepalkan kembali genggamanku kuat-kuat, sebgai tanda persetujuanku menjaga “si lonceng emas kecil” yang dititipkan kepadaku.

Mimpi itu begitu nyata, seolah oleh aku tidak bermimpi. Pada saat ku terjaga, kudapati tangan kananku masih mengepal kuat, seloah olah masih menjaga si lonceng emas dalam genggamanku. Kubuka perlahan-lahan genggamanku dan kudapati genggamanku kosong.. tak ada lonceng emas di sana.
“Ahh.. ternyata Cuma mimpi”. Mimpi yang begitu nyata.

Mimpi hanyalah bunga tidur.. tapi mimpi yang ini begitu nyata. Esok harinya kuceritakan mimpi ku pada istriku..

“mungkin lonceng emas kecil dalam mimpimu adalah perlambang anak kita yang akan segera lahir, dan si Biksu adalah perlambang dari Yang Maha Kuasa”, begitu komentar istriku

Yah.. mugnkin istriku benar adanya . Anak adalah titipan Allah ke pada kita. Akan ku jaga titipan itu sebaik-baiknya.

Ada satu hal yang menggelitik dari mimpiku.. kenapa yang datang padaku dalam mimpiku justru seorang Biksu? Bukan seorang Kiai atau seorang wali atau “Aa Gym”, orang-orang terhormat umat Muslim, sesuai agama yang kupeluk? Akh.. mimpi hanyalah bunga tidur…. Tak jadi soal siapa yang “mengantarkan” pesan. Yang perlu diperhatikan adalah esensi dari pesan yang disampaikan. Pesan untuk membesarkan dan menjaga anakku… Anakku…. si Lonceng Emas dari Thailand.

Singapore,
5 September 2005.http://mahendrahariyanto.blogspot.com/