Namanya juga uneg-uneg. Ya.. tempat nulis segala macam uneg!!!

Friday, December 09, 2005

Santapan Rohani

Di akhir bulan ramadhan lalu aku dan istriku mendapatkan santapan rohani yang cukup menyejukkan batin kami. Santapan rohani itu, Bukan dating dari aa gym, bukan dari Dai Jefry, bukan dari dai kondang ataupun dari dai ‘konangan’ belangnya .
Santapan itu datangnya dari seoarang janda dan dua anak kecil yang berjumpalitan gembira.

Biasanya, santapan rohani selalu diasosiasikan dengan ceramah-ceramah agama yang mengisik kekosongan dan menyejukan batin kita.
Sebenarnya, Urusan Menyejukkan batin, bisa dilakukan dimana saja, tidak perlu menyatroni para dai dan penceramah yang mendongengi kita dengan indahnya surga yang tak terkira.
Bertafakur Bersujud syukur atas nikmat-nikmatnya yang telah diberikan adalah alternatif lain yang bisa kita pilih untuk menenangkan batin kita .
Alternatif lainnya lagi , adalah dengan memberi. Memberi dengan keikhlasan hati kan menyejukkan batin kita, se sejuk-sejuknya, lebih sejuk dari yang pernah kita bayangkan.

Dalam memberi, ada satu katu kunci yang harus selalu kita pegang: ikhlas.
Memberi dengan ikhlas menuai kesejukan hati. Memberi dengan pamrih menuai kecemasan hati, cemas, bila pemberian tersebut tak terbalas.

Hmm jadi teringat pengalamanku waktu masih SMP dulu. Di suatu sholat jumat yang kuikuti, seperti biasa kotak amal diedarkan diantara umat. Dan ketika tiba kotak itu dihadapanku, tmbul kebimbangan dihati, ingin menyumbang tapi…. ah sayang.. uang jajan ku tak begitu banyak, bila kusumbangkan sebagian, berarti uang jajanku yang tak seberapa itu pun akan berkurang.
Di tengah kebimbangan itu, entah kebetulan , atau mungkin itu merupakan bisikan malaikat melaui sang khotib yang sedang memberikan ceramah jum’at nya, pada saat bersamaan, sang khotib membahas besaran-besaran pahala yang akan dibalas oleh Allah dari setiap sen uang yang kita sumbangkan. Apalagi di bulan ramadhan, ganjarannya bisa sampai 70 x lipat!!!! Waaaaaaah.. menarik sekali…….,

Bisa diduga selanjutnya, seperti baru saja mendapat wangsit dari sang khotib, aku yang semula ragu, akhirnya dengan semangat 45 “mendermakan” juga sebagian uang jajanku ke kotak amal, dengan harapan mendapt ganjaran yang setimpal.. or.. bertimpal-timpal. Lumayan kan, nyumbang 1000, ganjarannya 70 X 1000 = 70000.
Setelah selesai sholat jumat, aku segera bergegas menuju pintu keluar, ingin rasanya cepat pulang, berharap-harap cemas… siapa tahu begitu sampai di rumah, ada rejeki tak terduga sebagai ganjaran dari sedekah ku ke kotak amal jumat itu.
Tapi, apa yang terjadi? begitu sampai di pintu keluar masjid…. harapan mendapatkan ganjaran berubah menjadi umpatan kekesalan dan kekecawaan. Sendal kesayanganku hilang tak berbekas!!!! Sial.
Sepanjang perjalanan pulang, tanpa alas kaki- di aspal yang panas, tak henti-hentinya aku mengumpat di dalam hati:
“Tuhan, gimana sih?? Katanya setiap sedekah di bulan puasa diganjar 70 x lipat?, mana buktinya? Sendal kesayangan ku kok malah hilang!!!. Kalau tahu gini kan tadi aku nggak nyumbang, biar bisa kutabung buat beli sandal baru!!!”

He-he-he.. sekarang aku tertawa sendiri mengingatnya.. begitulah kalau kita memberi dengan pamrih, tidak dengan keikhlasan hati, yang didapat bukannya kesejukan hati tapi kecemasan dan kekesalan hati.

Jadi, what is the moral of the story? Simple aja: kalau jumatan, jangan pake sendal yang terlalu bagus….. ( waak!!!.. jaka sembung bawa golok, ngak nyambung bok..)

Ok, kembali lagi ke ceritaku tentang tentang santapan rohani di akhir bulan puasa lalu. Begini ceritanya :
Seperti biasanya, sebelum lebaran aku dan istrku menyisihkan sebagian uang untuk disedekahkan. Tahun-tahun sebelumnya, biasanya kami hanya menitipkan uang tersebut ke masjid terdekat untuk disalurkan pada yang membutuhkan.
Tapi tahun ini, dengan kesulitan ekonomi yang tengah di hadapi bangsa ini, istriku dan aku sepakat untuk menyalurkan sedekah kami yang tak seberapa itu langsung kepada orang sekitar yang layak untuk menerimanya.
“Sekalian membangun silaturahnmi dengan orang-orang dekat”, begitu kata istriku.

Maka siang itu, bertandanglah istriku ke sebuah rumah yang didalamnya terdapat seorang Ibu dengan 2 orang anak kecil- yang memang sedang membutuhkan uluran tangan untuk dapat menjalani hidup di tengah kesulitan ekonomi yang sedang mendera.

Sepulang dari rumah itu, istriku menelponku… bercerita betapa bahagianya dia melihat keluarga itu gembira menerima ‘bantuan’ dari kami yang tak seberapa itu.
Si sulung, 9 Tahun, berjumaplitan gembira membayangkan berlebaran dengan baju baru, sementara si ragil, 3 tahun, walau belum banyak mengerti ikut berlompatan gembira mengikuti si sulung.
Melihat kegembiraan mereka, istriku pun ikut bergembira

“Seneng ya kalau kita bisa membuat orang lain seneng ” begitu komentar istriku .

Istriku dan aku baru saja merasakan ‘santapan rohani’ yang unik. 'Santapan rohani’ yang didapatkan dari keikhlasan membantu orang lain, walapun bantuan itu tak seberapa. Sedikti berbuat sesuatu dengan ikhlas, ternyata bisa menjadi santapan rohani yang yang cukup menyejukkan bathin yang tidak pernah kudapatkan di “tempat-tempat hiburan manapun.
Ahh.. betapa bodohnya aku waktu masih bujangan dulu. Hampir setiap akhir minggu aku rajin mengunjungi café-café/ restoran mahal dan tempat-tempat hiburan lainnya , membelanjakan sejumlah besar uang, untuk mencari kesenangan. Betul.. aku mendapatkan kesenangan yang kucar. Tapi, ternyata kesenangan-kesengang seperti itu sifatnya semu, serta tidak banyak menyejukkan batin kita. Kesejukan batinlah yang akan membawa kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya.
Semakin sering kita memberi dengan ikhlas, semakin terasah batin kita menghalau sifat-sifat serakah yang ada disetiap kita manusia. Tanpa sifat serakah, kita tidak akan pernah lagi diperbudak uang dan materi. Dan manakala kita bisa menghalau sifat serakah itu, hidup akan menjadi lebih tenang bahagia. Mengumpulkan harta secukupnya saja, membagi pada yang mebutuhkan jika berlebihan.

Ahh... Seandainya saja sejak dulu, uang yang kuhamburkan di tempat-tempat hiburan semacam itu kuberikan pada orang-orang yang lebih membutuhkan, mungkin akan lebih bermanfaat kiranya.
Tidak hanya bagi yang menerima tetapi juga bagi kesejukan batin yang memberi.

Penutup
Tahun 2005 adalah tahun yang sulit bagi bangsa Indonesia, di awal tahun, dampak bencana tsunami masih terasa. Di pertengahan tahun, ancaman teroris merajalela. Di akhir tahun, inflasi melambung tinggi rakyat miskin pun bertambah banyak.
Ditengah cobaan yang sedang mendera bangsa kita, diantara kita, masih ada yang jauh lebih beruntung daripada sauadara-saudara kita lainnya yang harus menjalani hidup di ambang garis kemiskinan .

Dan kalau saja kita termasuk salah satu dari kelompok yang ‘beruntung’ tersebut, tidak ada salahnya kita membagi sedikit rejeki kita pada saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Tengoklah sekeliling kita, lihatlah tetangga-tetangga kita, atau kampung di sekitar rumah kita, kalau masih ada yang berkekurangan, bantulah dengan ikhlas, membantu sekaligus membangun silaturahmi dengan orang sekitar.
Sudah saatnya kita memupuk rasa malu bila kita membiarkan orang-orang di sekitar kita kelaparan , sementara kita bisa makan tiap hari dengan kenyang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home