Namanya juga uneg-uneg. Ya.. tempat nulis segala macam uneg!!!

Monday, September 27, 2010

Kehilangan Jabatan Karena Marah

Marah tentu ada manfaatnya. Kalau tidak, buat apa tuhan memberikannya pada kita.

Marah adalah salah satu alat yang diberikan pada kita untuk mempertahankan eksitensi kita.

Marah bagaikan api… panas dan membakar.

Api yang besar tak terkendali menjadi musuh.

Api yang besar kecilnya bisa kita atur sesuai kebutuhan menjadi sahabat .

Seperti api, marah bisa memberi manfaat, atau mudarat bergantung pada kemampuan kita mengendalikannya.


Marahnya Bung Tomo pada 10 November 1945, mampu menggerakan ribuan pemuda mempertahankan kemerdekaan.

Marahnya Mahatma Gandhi ketika diushir keluar dari gerbong kerata kelas satu yang telah dibelinya, semata-mata hanya karena kulitnya yang tidak putih, membuatnya tergerak memimpin dan mempersatukan bangsa India untuk meraih kemerdekaan.

Marahnya perlajar dan pemuda Indonesia di tahun 1966 dan 1998 , mampu meruntuhkan tirani pemerintahan orde lama dan orde baru.

**


Marah bisa diwujudkan dalam berbagai rupa.

Hardikan yang keras.

Hinaan yang lantang.

Pukulan yang melumpuhkan.

Atau , marah bisa pula diwujudkan dengan:

Diam seribu basa.

Kata-kata bermakna dalam.

Lapar dan dahaga.


Mahatma Gandhi mewujudkan marahnya dengan cara-cara yang terakhir. Tidak dengan menghunuskan pedang, tidak dengan dengan kekerasan, tidak dengan kata-kata berapi-api penuh kemarahan.


Marahnya Mahatma Gandhi diwujudkannya dengan menggerakkan rakyat India untuk menghilangkan ketergantunganny pada Kerajaan Inggris , pihak penjajag yang menjadi sasaran kemarahannya (Swadeshi Movement).

Di satu sisi, gerakan Swadeshi ini membuat pengikutnya menjadi ”lapar dan dahaga”. Supply barang dan jasa murah yang diproduksi oleh industri kerajaan Inggris tidak boleh dikonsumsi lagi. Di sisi lain, gerakan ini menumbuhkan kemandirian bangsa India. Kemandirian, yang pada akhirnya membuat bangsa Inggris terusir dari tanah India.


Jadi, marah tidak harus selalu diwujudkan dengan kekerasan. Sejarah telah membuktikan “marah yang damai” seperti yang diperlihatkan Mahatma Gandhi, telah membuat kerajaan Inggris bertekuk lutut dan terusir dari tanah India.


**

Kalau anda merasa menjadi orang biasa-biasa saja, bukan orang yang terkenal, bukan orang penting, hanya menjadi orang kebanyakan, anda tak perlu berkecil hati. Sebaliknya, ditakdirkaun untuk menjadi orang biasa , orang kebannyakan adalah suatu nikmat luar biasa yang patut disyukuri setelus hati.


Nikmat indahnya menjadi orang kebanyakan adalah: tak ada beban bagi kita untuk jujur menjadi diri kita sendiri secara apa adanya. Ketika sedih, kita bisa menangis dengan jujur sejujurnya ,ketika kita bahagia, kita bisa tertawa lepas apa adanya, dan ketika kita marah, kita bisa marah tanpa perlu bersandiwar. Tak ada yang peduli, dan mempermasalahkan kejujuran tangisan, tawa dan kemarahan kita. Kalaupun ada yang mempermasalahkan , tidak banyak jumlahnya. Jumlah yang masih terasa ringan bagi kita untuk menghadapinya.


Sebaliknya, bila anda “ditakdirkan” menjadi orang luar biasa, orang terkenal, orang-orang besar; tangis, tawa dan marah anda harus dapat dikendalikan sedemikan rupa agar tidak merugikan diri anda sendiri ataupun orang lain. Bukan tidak mungkin anda harus bersandiwara agar tawa, tangis dan kemarahan anda tidak dipermasalahkan oleh khalayak ramai.

*


Jendral Patton adalah Jendral brilian pasukan sekutu di masa perang dunia ke 2. Sang Jendral adalah komandan pasukan ke tujuh (seventh army), pasukan Amerika terbesar yang bertugas di daratan Eropa. Jenderal Patton dikenal sebagai jenderal betemperamental tinggi., emosional, terlihat gampang marah. Temperamen nya yang tinggi , sifatnya yang pemarah menyikapi prajuritnya yang dianggapnya tidak becus terebukti telah mampu secara effektif meningkatkan kinerja pasukannya di medan pertempuran.


Namun demikian, karena temperamen yang tinggi pulalah Jenderal George Smith Patton, Jr kehilangan jabatannya.


Sang Jenderal kehilangan jabatannya ketika dia tak mampu menahan emosinya menyaksikan seorang prajurit yang gemetar , menangis tersedu-sedu, mundur dari medan pertempuran dan meminta perawatan di rumah sakit di garis belakang. Padahal sang prajurit terlihat sama-sekali tak terluka. Di saat yang sama, rumah sakit yang dituju sedang kewalahan menerima banyaknya pasien korban pertempuran yang terluka berat.


Sang Jenderal menjadi marah besar. “Pengecut!!!” hardik sang Jenderal. Di tamparnya prajurit itu, diusir sang prajurit dari rumah sakit dan diperintahkan kembali ke medan pertempuran.


Sekilas, terlihat marahnya sang Jenderal dapat kita pahami. Apa jadinyanya apabila semua tentara yang sehat wa’alfiat , tidak terluka, meninggalkan medan pertempuran tanpa alas an yang jelas?

Namun kemarahan sang Jenderal terjadi di tempat dan waktu yang salah. Kejadian itu disaksikan seorang wartawan perang yang tengah meliput perang dunia ke 2 di daratan Eropa. Sang Wartawan kemudian membuat reportase mengenai pemukulan semena-mena seorang prajurit yang dilakukan oleh Jenderalnya sendiri.

Lebih parah lagi, belakangan di ketahui si prajurit yang di tampar sang Jenderal ternyata sedang menderita malaria yang membuatnya memang harus dirawat di rumah sakit.


Selang tak berapa lama setelah kejadian itu, sang jenderal akhirnya di copot dari jabatannya sebagai panglima pasukan terbesar Amerika di daratan Eropa. Publik Amerika tidak bisa menerima putra-putranya yang mempertaruhkan nyawanya di medan perang diperlakukan tidak dengan layak oleh sang panglima.


Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini adalah: kalau anda jadi orang besar, public figure, marah perlu dikendalikan. Marah yang tak terkendali di depan publik bisa merugikan diri anda sendiri.

*


Kalau Amerika punya Jenderal Patton, kita punya Jenderal SBY. Kita sering menyaksikan Jenderal SBY sering terlihat tidak ragu-ragu marah, menegur, meghardik, siapapun itu yang mengganggunya ketka dia sedang atau akan berbicara.

Ketika berpidato, dia tak ragu memperlihatkan rasa marah ,menghardik dengan keras, apabila ada yang tertidur di saat mendengarkan pidatonya yang mungkin memang membosankan.


Di lain waktu, dia juga tak ragu-ragu menghardik menteri bawahannya di depan umum ketika didapati sedang berbicara sendiri di saat dia hendak menyampaikan pengumuman penting.


Yang terakhir, yang terjadi baru-baru ini Pak SBY marah besar ketika terjadi gangguan teknis di saat sedang mengadakan acara telekonfersi dengan kepala polisi di Jawa tengah. Tidak tanggung-tanggung, dua direktur perusahaan telekomunikasi di hardiknya, dipermalukan di depan umum.


Apakah memang perlu Pak SBY mengumbar marahnya dengan hardikan yang keras, mempermalukan , merendahkan pejabat-pejabat tinggi yang dimarahinya di muka umum untuk hal-hal tidak prinsipil sperti di atas?


Kita mungkin punya pendapat yang berbeda.Mungkin banyak dari Anda mendukung sikap marah Presiden pada kejadian di atas. Di sisi lain mungkin juga tidak sedikit dari Anda yang berpendapat sebaliknya, sama seperti saya.


Rasanya tidak perlu Pak SBY yang mengumbar kemarahannya untuk hal-hal yang tidak prinsipil. Kemarahan seperti di atas selayaknya dilakukan di belakang layar, pejabat yang dianngap lalai bisa diberi teguran di belakang layar tanpa harus mempermalukannya di dedapn umum.


Marahnya Pak SBY yang meledak-ledak selayaknya bisa dikemukakan ke khalayak ramai untuk hal-hal yang lebih besar, untuk kasus pelanggaran kedaulatan NKRI misalnya.

Beberapa waktu lalu Negara tetangga menangkap petugas DKP di perairan Indonesia ketika mereka sedang bertugas menjaga kedaulatan NKRI. Entah kenapa, hardikan Pak SBY yang biasanya terdengar keras ketika menegur seseorang yang sedang tertidur ketika mendengar pidatonya, tidak terdengar untuk kasus yang satu ini.


**

Dalam ajaran Jawa, marah kepada bawahan pun ada aturannya: senyum bupati, tegur man tri, dan depak kuli.


Artinya kira-kira begini: kalau yang dimarahi memiliki tingkat kedudukan tin gkat intelektual yang tinggi (dianalogikan dengan kedudukan “bupati”), teguran dan kemarahan tidak perlu dilakukan dengan membentak-bentak dan menghardik . Cukup dengan senyuman penuh arti, sang bupati, akan mengerti kalau dirinya sedang dimarahi. Sedangkan untuk pejabat level menengah (dianalogikan dengan jabatan “mantri”), bisa dilakukan dengan teguran. Selanjutnya untuk menegur bawahan tingkat kedudukan dan intelektual yang rendah (dianalogikan dengan level kuli), teguran acap kali perlu diberikan dengan tegas dan keras agar dapat dimengerti.


Jadi, marahpun perlu dikendalikan sesuai dengan konteks, ruang dan waktu. Tidak elok rasanya , apabila seorang menteri atau seorang direktur BUMN dimarahi di depan umum seperti layaknya memarahi anak-anak sekolah dasar yang lupa mengerjakan PR-nya.

**


Saya bertanya-tanya, apa yang sebeneranya melatarbelakangi sikap Pak SBY yang tidak segan-segan mengumbar marahnya di depan umum untuk hal-hal yang terlihat kecil .


Apakah semata-mata karena tekanan pekerjaan yang besar, sehingga di waktu-waktu tertentu Pak SBY tak mampu lagi menahan emosinya menganggapi hal-hal yang terlihat kecil sekalipun?


Apakah karena Pak SBY sengaja ingin menunjukkan kekuasaannya?


Atau: Apakah Pak SBY adalah orang yang selalu mengerjakan segala sesauatunya dengan sempurna, sehingga dia juga menuntut kesempurnaan dari bawahannya?


Kalau poin terakhir yang benar, agaknya ada tujuan mulia yang hendak ingin dicapai Pak SBY dengan sikap marahnya selama ini.

Namun, perlu juga dipahami bahwa pada kenyataannya tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tidak juga Pak SBY.


Bukankah baru-baru ini kita, rakyant Indonesia dipertontonkan dengan kejadian yang cukup memalukan dimana Jaksa Agung, yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum di Indonesia, ternyata, tidak diangkat sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kejadian yang cukup memalukan bukan?


Kejadian bisa jadi disebabkan oleh kurang cermatnya, ketidak sempurnaan team yang dipimpin langsung oleh Pak SBY dalam memperhatikan hal-hal penting yang bedampak besar.


Lalu, apakah kita , rakyat Indonesia, yang memilih dan mengangkatnya sebagai Presiden, yang ikut “dipermalukan” oleh kejadian ini, pantas “menghardik” Pak SBY, seperti halnya Pak SBY menghardik menteri ataupu direktur BUMN yang dianggapnya tidak becus bekerja?


Hmm… rasanya tidak perlu. Kita seharusnya bisa berikap lebih baik daripada sekedar berteriak-terak dan menghardik. Bagaimanapun juga Pak SBY Presiden kita . Mengkritisi Presiden selayaknya dilakukan dengan santun. Misalnya melalui tulisan-tulisan tajam, berbobot dan membangun.


Pertanyaan selanjutnya. Apakah Jenderal SBY akan bernasib sama sepeti Jenderal Patton yang kehilangan jabatan hanya karena marah-marah pada tempat dan waktu yang salah?


Wah, saya tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Saya bukan peramal dan juga bukan orang yang serba tahu. Saya hanyalah orang biasanya yang penuh dengan ketidaksempurnaan.


Menyadari sebagai orang yang tidak sempurna, saya pun sadar tulisan ini juga jauh dari sempurna. Dengan demikian, di akhir tulisan ini , ijinkan saya untuk menghaturkan maaf yang sebesar-besarnya, jika ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan tulisan ini.

**


Singapura, 27 September 2010

Mahendra Hariyanto

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home