Mengelola Kelemahan
Saya punya banyak kelemahan. Salah satunya : Bahasa inggris saya kurang bagus… dulu… Sekarang sih mendingan, walaupun masih jauh dari sempurna.
Yang susah adalah pengucapannya. Maklum lidah kita beda dengan lidah orang bule. Tambah lagi ejaan kita yang bunyinya beda dengan ejaan bahasa inggris. Perbedaan itu sering membuat lidah ini terselip mengucapkan kata bahasa inggris dengan ucapan sesuai ejaan bahasa Indonesia.
Saya kira ini bukan masalah saya sendiri. Banyak juga orang Indonesia lainnya yang mempunyai masalah yang sama.
Beberapa tahun lalu, saya sempat tersenyum-senyum sendiri mendengar cerita beberapa kasus serius terjadi karena masalah pengucapan bahasa inggris yang salah ini, misalnya:
Seorang expatriate, bisa jadi berkerut keningnya ketika mendengar bawahannya yang imut manis berucap sendu di telepon
“… I’m still waiting for your “f*cks” boss…”
Padahal yang dimaksud si bawahan…
“… I’m still waiting for your fax boss…”
“Fax (=facsimili) akan terdengar seperti f*cks (=sebuah kata/kegiatan yang tabu) di telinga orang bule apabila kita membaca kata “FAX” dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia (F+A = FA diakhiri dengan X jadinya FAX diucapkan sperti FAKS terucap seperti f*cks).
Juga ketika kata “cafe” mulai sering dipakai 1 – 2 dekade lalul di Jakarta untuk menggantikan kata warung kopi atawa rumah makan. Cafe masih sering salah dilafalkan dengan hanya satu suku kata.
Mungkin kesalahan ini karena mengacu pada pengucapan bahasa inggris lainnya seperti life atau knife yang dilafalkan dengan satu suku kata. Berbeda dengan pengucapan bahasa inggris lainnya, dimana huruf “e” setelah konsonan diakhir kata tidak dilafalkan, kata Cafe diucapkan dengan 2 suku kata, dan suku kata kedua “fe” juga dilafalkan.
Mengapa demikian? Karena mungkin kata ini diadopsi dari bahasa Perancis yang melafalkannya dengan 2 suku kata.
Salah pelafalan ini banyak membuat orang bule salah mengerti, ketika kita melafalkan kata “cafe” seperti melafalkan kata “cave”(=gua) .
Terbayang kan betapa takutnya orang bule ketika mendengar ajakan ramah kita yang kira-kira terdengar seperti ini:
“ let’s have some snakes in the cave”
(mari kita makan ular di dalam gua..)
Terlebih lagi si bule pernah melihat penjahit di daerah tempat tinggalnya yang memiliki spesialisasi melayanani pelanggan penghuni-penghuni gua yang jahat. Di depan toko si penjahit terdapat sepanduk besar bertuliskan :
“Terima Bad Caver “
Padahal maksud kita adalah
“let’s have some snacks in the cafe..” (mari cari makanan kecil di kafe.)
dan
“Terima Bed Cover”
Jadi kesimpulanya : berbicara bahasa inggris yang baik dan benar sangat penting untuk menghindari salah pengertian. Saya pernah jadi kelaparan di malam hari karena salah pengertian.
Begini ceritanya.
Kejadian nya di Bangkok sektitar tahun 2002. Saat itu saya dikirim mengikuti sebuah training di sana.
Bagi yang pernah jalan-jalan ke Bangkok pasti tahu kalau Babi adalah makanan yang popular di sana. Banyak restoran-restoran di sana yang menjadikan Babi sebagai mascot mereka atau sebagai sajian utama restoran mereka. Nah dengan demikian, saya yang tidak makan Babi mesti hati-hati kalau memilih makanan di sana.
Karena tidak banyak pilihan, dan juga karena kesulitan berkomunikasi untuk bertanya apakah makanan yang tertulis di dalamn menun mengandung babi atau tidak, saya jadi tidak berani makan sembarangan dan banyak-banyak.
Kalau bisa , pilih makanan vegetarian yang jelas-jelas tidak mengandung daging sama sekali. Padahal aslinya sih saya suka sekali makan daging.
Karena makannya sedikit dan pilih-pilih di siang hari, di malam hari saya jadi sering merasa lapar. Pada suatu malam , karena rasa lapar yang mendera, saya jadi susah tidur. Padahal esok paginya masih ada training seharian yang perlu saya ikuti dengan konsentrasi penuh.
Malam itu saya putuskan melawan rasa lapar dan tidak saya biarkan tidak bisa tidur hanya karena perut kosong. Maka, dimalam yang sudah larut itu kusingsikan selimut kulangkahkan kaki keluar hotel berburu makanan untuk mengisi perutku yang kosong itu.
Masalahnya, tengah malam gitu kebanyakan restorant sudah pada tutup, tinggalah wareng serba ada 24 jam yang tersisa. Yang ada di benakku saat itu u ku adalah mencari mi instant yang siap disantap ha nya dengan menuangkan air panas ke dalam kemasan nya.
Mulailah saya bergerilya mengunjungi waserba 24 jam yang ada, dimulai dari yang terdekat dengan hotelku dulu. Dan seperti yang ku bilang sebelumnya, karena orang Thailand sangat menyukai sari rasa babi, dalam memilih mie instant pun aku sangat berhati-hati.
Apalagi pada saat itu, sulit mendapatkan mi instant yang sudah ada label halalnya di Bangkok.
Mi instant yang tidak ada keterangan nutrisi dalam bahasa inggris, langsung tidak saya pilih. Walaupun kemasan depan bergambar seafood, selama keterangan kandungan nutrisi tertulis dengan aksara Thailan dan tidak saya mengerti tak berani saya mengkonsumsinya. Saya dengar di Negara-negara yang banyak mengonsumsi babi, kaldu “babi” sering digunakan untuk penyedap rasa berbagai makanan.
Mi instant yang pertama yang saya lihat bergambar tomyam didepannya dan keterangan kandungan makanan ditulis dalam bahasa inggris disamping aksara Thailand. Tertulis kandungan me instant itu adalah : Wheat flour (Tepung Gandum), Vegetable oil (Minyak sayuran), salt (garam), sugar (gula), chilli powder (serbuk cabai), MSG, Garlic Powder (Serbuk Bawang Putih), Perasa tom Yam, dan bawang putih. Sekilas terlihat Mie instant ini aman untuk saya konsumsi karena tidak tertulis ada kandungan babi.
Tapi, tunggu dulu, ketika saya cermati lagi,ternyata ada kalimat lain yang tertulis di sisi lain kemasan mi instant itu yang kalau saya artikan berisi peringatan “ada babi di dalam”.
“Wah untung saja belum saya konsumsi” pikirku
Dan mulailah aku mencari mi instant lainnya dengan rasa dan merek yang berbeda-beda , kari ayam, seafood , rasa sapi. Tidak hanya di satu toko tapi di toko-toko lainnya. Anehnya di setiap kemasan mi instant yang kulihat itu, selalu ada tulisan yang kalau saya artikan berisi peringatan “ada babi di dalam”.
Ck..ck.. ck.. saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata babi sangat popular di Negara Thailand.
Apapun rasa mi-instantnya , ada babi di dalamnya. Begitu kira-kira tag line yang menggambarkan situasi pada saat itu.
Setelah lelah mencari ke sana ke mari akhirnya saya menyerah. Saya pulang ke hotel dengan tangan dan perut hampa. Sesampainya di hotel, tidak banyak yang bisa saya lakukan. Mau tidur tidak bisa. Nonton TV juga tidak nyaman karena perut kosong. Akhirnya saya luntang-lantung nggak jeals di dalam kamar Mau baca-baca juga, majalah yang ada sudah habis saya baca.
Kalau sudah begini, mulailah saya membaca tulisan apapun yang bisa dibaca. Dari brosur hotel, peta kota, bahkan daftar inventori barang-barang yang ada di kamar hotel pun saya cermati . Daftar inventory itu tertulis balam bahasa Inggris, ada piring, gelas, pembuka botol, pemanas air, pisau, sendok, babi… .
Babi? Nggak salah tuh? Ada babi di dalam kamar? Apalah maksudnya daging babi di dalam kulkas? Setelah kuperiksa, di dalam kulkas hanya tersedia minuman, tidak ada daging babi.
Hmm… pasti ada yang salah..
Untuk memastikan, kubuka kembali kamus sakuku. Siapa tahu kata Babi dalam bahasa inggris juga mempunyai makna ganda.
Yaah… akhirnya ketahuan juga di mana salahnya. Salahnya ternyada ada di otak saya.
Mungkin karena saya pernah tinggal di bumi parahyaangan selama kurang lebih 5 tahun. Di sana saya biasa mendengar huruf “F” dilafalkan seperti huruf “P”. Misalnya “Film” akan terdengar seperti “Pilem”, “Fondasi”akan terdengar seperti “Pondasi” dan seterusnya. Makanya ketika saya membaca tulisan di kemasan mi instant “Fork Inside” (ada garpu di dalam), saya membacanya sebaagai “Pork Inside” (ada babi didalam).
Begitulah teman, hanya karena terbiasa melafalkan huruf “F” sebagai huruf “P”, saya jadi tidak bisa tidur dan kelaparan tengah malam di negeri orang
**
Ketika saya memutuskan untuk “Go International” (alias jadi TKI) bekerja di negeri orang, Saya paham betul bahwa kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris , terutama dalam hal pengucapan, merupakan salah satu kelemahan saya. Pemahaman atas kelemahan ini, tidak hanya mendorong saya untuk terus berusaha menguranginya, di sisi lain, juga mendorong saya untuk mengimbanginya dengan memperkuat kelebihan yang saya miliki.
Dalam menjalani pekerjaan saya, tidak jarang saya harus berdiri di depan orang banyak, memberikan training atau mempresentasikan hasil pekerjaan saya dalam bahasa Inggris di hadapan orang-orang yang bermimpipun pakai bahasa inggris. Menghadapi situasi ini, awalnya deg-degan juga,terlebih-lebih karena saya sadar bahwa berkomunikasi dalam bahasa Inggris adalah salah satu kelemahan saya. Namun lama-lama setelah saya terbiasa mengelola kelemahan saya tersebut, ras deg-degan itu semakin berkurang. Bahkan tidak jarang saya membuka presentasi atau sesi training saya dengan pengakuan akan kelemahan saya itu yang saya kemas sebagai sebuah “Joke”/ gurauan ringan :
“I have no problem at all speaking in English. There is only one little problem, which is : usually people don’t understand what I’m talking about. But it is not my problem right?“
(Saya nggak ada masalah ngomong Inggris. Masalahnya cuma, biasanya orang-orang banyak yang nggak ngerti apa yang saya omongin. Tapi itu bukan masalah saya bukan?)
Setelah mengakui kelemahan saya, saya ajak peserta training untuk membantu saya mengatasi kelemahan saya dengan mendorong mereka untuk tidak ragu-ragu bertanya:
“So… if you have any doubt or questions, please don’t hesitate to interrupt me anytime and raise your question”
(Jadi, kalau ada hal yang meragukan atau pertanyaan, jangan ragu untuk memotong pembicaraan saya dan ajukan pertanyaan anda kapan saja)
Terakhir, sebagai timbal balik atas partisipasi peserta training dalam memahami dan membantu saya mengatasi kelemahan saya, saya biasanya tak segan – segan menyediakan waktu lebih banyak bekerja lebih keras untuk menyiapkan training material yang lebih terperinci dan semenarik mungkin.
Strategy ini kelihatannya berhasil. Feedback yang saya terima dari peserta training mengenai qualitas training yang saya sampaikan cukup positif.
Dengan demikian kekurangan saya dalam hal kekurangkefasihan pengucapan kata-kata berbahasa Inggris, tertutupi oleh keterbukaan saya untuk melayani berbagai pertanyaan dan juga training material yang saya telah saya siapkan sebaik mungkin.
Jadi teman, adalah penting untuk mengenal, menerima dan mengakui kelemahan yang kita miliki.
Di saat kita mampu mengenal, menerima dan mengakui kelemahan (weakness) kita, di saat itu pula kita akan terpacu untuk senantiasa menggali potensi dan mengasah kelebihan kita (strength) untuk mengimbangi kelemahan yang kita itu. Dengan demikian, ancaman (threat) yang mungkin ditimbulkan oleh kelemahan kita, akan dapat kita minimalisir. Lebih jauh lagi, semakin tekun kita menggali dan mengasah kelebihan yang kita miliki, semakin terbuka pula peluang-peluang (opportunity) baru yang mungkin kita raih. Dalam ilmu manajemen , kerangka berpikir seperti ini dikemas dalam sebuah teory yang dikenal luas sebagai teori analysis SWOT : Strength, Weakness, Opportunity and Threat.
Singapura, 09 Februari 2011
Mahendra Hariyanto