Piano
Piano itu sudah tua umurnya. Mungkin sudah lebih dari seratus tahun. Warisan dari kakekku dari pihak ibu. Sewaktu ku kecil piano itu sudah ada. Setelah ku punya anak kecil, piano itu pun masih ada.
Sampai saat ini piano itu masih kokoh dan bagus. Karena memang dia dirawat dan beberapa kali diperbaiki. Dulu, aslinya tuts-tuts terbuat dari gading gajah. Namun banyak yang sudah rusak termakan usia. Gading itu pun akhirnya diganti dengan kayu biasa.
Piano itu beberapa kali rusak, tidak bisa dimainkan. Beberapa kali pula piano itu diperbaiki agar bisa bersuara kembali. Sayangnya, aku bukanlah pemain piano yang pandai. Lagu-lagu yang kutahu itu-itu saja. Itupun banyak salahnya.
Piano.
Depannya P belakang nya o, ditengah-tengah ada huruf a.
Piano terdiri dua suku kata Pia dan no. Pia artinya makanan kecil (seperti bak – Pia , sum-Pia, lum-Pia) dan no artinya bukan. Jadi Piano berarti “bukan makanan kecil”. Begitulah, belajar bermain Piano memang tidak semudah menyantap makanan kecil. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa aku tidak pernah pandai bermain Piano.
Bersyukurlah kalau anda tidak percaya dengan apa yang saya tulis di alinea di atas. Sebaliknya , kalau anda percaya, tidak ada salahnya anda ke rumah sakit melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Just in case.
**
Piano itu adalah kesayangan almarhum Papa. Menjadi tempat menenangkan diri dari beratnya beban hidup yang papa hadapi. Di saat bermain piano, pikiran papa terpusat pada tuts-tuts piano agar tercipta harmoni yang indah terdengar di telinga. Di saat itulah beban berat yang membebani pikiran papa terasa menjadi lebih ringan. Begitu pula bagi yang mendengarnya. Indahnya harmoni suara piano membuat hati menjadi lebih damai.
Pelajaran pertama dari Piano itu adalah seni dan keindahan membuat batin kita menjadi lebih damai. Jadi seni adalah komponen penting dalam kehidupan kita.
Saya jadai terbayang-bayang bahwa seni bisa dijadikan sebuah solusi yang effektif meredam tawuran pelajar dan keganasan preman di Jakarta. Tawuran antar pelajar tidak hanya bisa dikurangi dengan pengawasan yang ketat, tetapi juga dengan memberikan kesempatan yang banyak bagi pelajar untuk mendalami kesenian yang diminatinya. Dikala mereka menemukan indahnya seni yang tengah mereka dalami, disaat itu pula kedamaian hati akan mereka temukan. Di saat hati damai, disaat itu pula keinginan untuk tawuran jadi berkurang.
Seperti pelajar, keganasan preman-preman Jakarta pun bisa dikurangi dengan seni. PEMDA Jakarta mungkin bisa mulai mencanangkan program pengenalan dan pelestarian seni kepada preman-preman Jakarta. Dimulai dari yang sederhana saja, yang gak usah mahal-mahal. Dimulai dari sebuah seni yang beberapa tokoh nasional dan Jakarta telah menjadi ahlinya, yaitu : Seni memelihara KUMIS.
Terbayang kalau setiap pagi, sebelum berangkat kerja ,preman-preman itu berkaca dan mengagumi indahnya kumis mereka, hati mereka mungkin akan menjadi lebih damai. Mood mereka akan menjadi lebih baik. Dan Dengan mood yang baik, mereka tentunya akan bertingkah lebih halus dan sopan. Dus, terror terhadap warga Jakarta akan berkurang. Masuk akal bukan.
“Maaf Pak, kalau mau lewat jalan ini, sudilah kiranya bapak menyumbangkan sedikit uang pada saya ,lima ratus rupiah saja….”
Begitulah kira-kira kalimat santun yang nantinya akan terucap oleh preman berkumis indah jelita.
Kembali lagi ke Piano.
Piano dibuat dengan banyak tuts. Tuts ada yang warnanya putih, ada yang warnanya hitam. Ada yang nadanya rendah ada yang nadanya tinggi. Piano terdiri dari nada-nada yang beragam. Sengaja dibuat begitu. Dengan nada-nada yang berbeda dan beragam, piano akan mampu menimbulkan bunyi indah yang beragam pula. Tak terbayang jika piano hanya terdiri dari 1 nada, betapa membosankan suaranya.
Jadi Piano sengaja dibuat dengan tuts dan nada yang berbeda-beda agar dia dapat mengeluarkan suara dan harmoni yang indah di dengar.
Pelajaran kedua dari Piano ini adalah: keberagaman adalah awal dari keindahan.
Serupa seperti piano, kiranya dunia ini sengaja diciptakan dengan penuh keragaman agar dapat tercipta harmoni kehidupan yang damai dan indah. Makanya saya heran, ketika ada sekelompok golongan tertentu mengatasnamakan Tuhan, getol menentang keberagaman atawa pluralisme. Padahal sang pencipta , Tuhan-lah yang menciptakan keberagaman itu. Paradoks.
Jika tidak dimainkan,Piano tidak pula mengeluarkan suara yang indah. Ia baru sebatas berpotensi mengeluarkan suara yang Indah. Diperlukan seorang pianis yang handal yang tahu nada apa saja, kapan dan dalam tempo yang bagaimana mereka harus ditekan agar tercipta harmoni yang Indah.
Nada yang salah ditekan pada saat yang salah menimbukan suara yang tidak enak di didengar. Nada yang benar pun jika ditekan pada saat yang salah dia akan mengeluarkan suara yang sumbang.
Jadi, pelajaran ketiga dari piano ini adalah; dari keberagaman akan terwujud keindahan di saat keberagaman itu dapat dikelola dengan baik.
Jika piano dengan kebragaman nadanya dianalogikan sebagai bangsa kita yang beragam pula, maka sang pianis dapat kita analogikan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa kita.
Hanya saja, para pianis bangsa ini belum bisa dikatakan sebagai pianis yang handal. Mereka masih sering memainkan nada yang salah di saat yang salah.
Misalnya, kelakuan wakil rakyat yang cuek bebek melanglang buana menghabiskan uang rakyat, di saat banyak yang berkeberatan, di saat banyak rakyat yang mengungsi akibat bencana alam, adalah bagaikan pianis tuli yang tidak peduli nada yang salah telah ditekan pada saat yang salah.
Ada juga sih pemimpin yang menekan nada yang benar disaat yang tepat. Keputusan SBY untuk berkantor di Yogyakarta di saat gunung merapi meletus adalah nada yang benar yang dimainkan di saat yang tepat. Nada yang terdengar menyejukkan di hati korban letusan gunung merapi.
Nada yang benar pun jika dimainkan dalam tempo dan waktu yang salah, juga akan menimbulkan suara sumbang dikalangan rakyat. Komentar SBY mengenai demokrasi dan monarki di Jogja mungkin tepat untuk mengambarkan situasi ini. Pada prinsipnya jika kita ingin menjadi Negara demokrasi yang konsisten, adalah hal yang benar untuk menerapkan system demokrasi di seluruh daerah di Indonesia. Kepala daerah selayaknya dipilih secara demokrasi pula.
Namun dalam konteks Jogjakarta , di mana Sang Sultan masih sangat dihormati rakyatnya , yang mana leluhurnya sudah beratus-ratus tahun memimpin daerah ini, agaknya saat ini belumlah waktu yang tepat untuk merubah system pemerintahan daerah ini. Jadi nada yang benarpun selayaknya tidak dimainkan sebelum waktunya.
Yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa, yang mendengar sumbangnya nada-nada yang dimainkan pemimpin kita, yang mungkin terganggu atau bahkan menderita karenanya, adalah dengan mengawasi , memberikan masukan dan kritikan yang membangun agar nada-nada sumbang itu tidak terlalu sering terdengar.
Singapura 3 Desember 2010
Mahendra Hariyanto