Namanya juga uneg-uneg. Ya.. tempat nulis segala macam uneg!!!

Wednesday, February 09, 2011

Mengelola Kelemahan

Saya punya banyak kelemahan. Salah satunya : Bahasa inggris saya kurang bagus… dulu… Sekarang sih mendingan, walaupun masih jauh dari sempurna.

Yang susah adalah pengucapannya. Maklum lidah kita beda dengan lidah orang bule. Tambah lagi ejaan kita yang bunyinya beda dengan ejaan bahasa inggris. Perbedaan itu sering membuat lidah ini terselip mengucapkan kata bahasa inggris dengan ucapan sesuai ejaan bahasa Indonesia.

Saya kira ini bukan masalah saya sendiri. Banyak juga orang Indonesia lainnya yang mempunyai masalah yang sama.

Beberapa tahun lalu, saya sempat tersenyum-senyum sendiri mendengar cerita beberapa kasus serius terjadi karena masalah pengucapan bahasa inggris yang salah ini, misalnya:

Seorang expatriate, bisa jadi berkerut keningnya ketika mendengar bawahannya yang imut manis berucap sendu di telepon

“… I’m still waiting for your “f*cks” boss…”

Padahal yang dimaksud si bawahan…

“… I’m still waiting for your fax boss…”

“Fax (=facsimili) akan terdengar seperti f*cks (=sebuah kata/kegiatan yang tabu) di telinga orang bule apabila kita membaca kata “FAX” dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia (F+A = FA diakhiri dengan X jadinya FAX diucapkan sperti FAKS terucap seperti f*cks).

Juga ketika kata “cafe” mulai sering dipakai 1 – 2 dekade lalul di Jakarta untuk menggantikan kata warung kopi atawa rumah makan. Cafe masih sering salah dilafalkan dengan hanya satu suku kata.

Mungkin kesalahan ini karena mengacu pada pengucapan bahasa inggris lainnya seperti life atau knife yang dilafalkan dengan satu suku kata. Berbeda dengan pengucapan bahasa inggris lainnya, dimana huruf “e” setelah konsonan diakhir kata tidak dilafalkan, kata Cafe diucapkan dengan 2 suku kata, dan suku kata kedua “fe” juga dilafalkan.

Mengapa demikian? Karena mungkin kata ini diadopsi dari bahasa Perancis yang melafalkannya dengan 2 suku kata.

Salah pelafalan ini banyak membuat orang bule salah mengerti, ketika kita melafalkan kata “cafe” seperti melafalkan kata “cave”(=gua) .

Terbayang kan betapa takutnya orang bule ketika mendengar ajakan ramah kita yang kira-kira terdengar seperti ini:

“ let’s have some snakes in the cave”

(mari kita makan ular di dalam gua..)

Terlebih lagi si bule pernah melihat penjahit di daerah tempat tinggalnya yang memiliki spesialisasi melayanani pelanggan penghuni-penghuni gua yang jahat. Di depan toko si penjahit terdapat sepanduk besar bertuliskan :

“Terima Bad Caver “

Padahal maksud kita adalah

“let’s have some snacks in the cafe..” (mari cari makanan kecil di kafe.)

dan

“Terima Bed Cover”

Jadi kesimpulanya : berbicara bahasa inggris yang baik dan benar sangat penting untuk menghindari salah pengertian. Saya pernah jadi kelaparan di malam hari karena salah pengertian.

Begini ceritanya.

Kejadian nya di Bangkok sektitar tahun 2002. Saat itu saya dikirim mengikuti sebuah training di sana.

Bagi yang pernah jalan-jalan ke Bangkok pasti tahu kalau Babi adalah makanan yang popular di sana. Banyak restoran-restoran di sana yang menjadikan Babi sebagai mascot mereka atau sebagai sajian utama restoran mereka. Nah dengan demikian, saya yang tidak makan Babi mesti hati-hati kalau memilih makanan di sana.

Karena tidak banyak pilihan, dan juga karena kesulitan berkomunikasi untuk bertanya apakah makanan yang tertulis di dalamn menun mengandung babi atau tidak, saya jadi tidak berani makan sembarangan dan banyak-banyak.

Kalau bisa , pilih makanan vegetarian yang jelas-jelas tidak mengandung daging sama sekali. Padahal aslinya sih saya suka sekali makan daging.

Karena makannya sedikit dan pilih-pilih di siang hari, di malam hari saya jadi sering merasa lapar. Pada suatu malam , karena rasa lapar yang mendera, saya jadi susah tidur. Padahal esok paginya masih ada training seharian yang perlu saya ikuti dengan konsentrasi penuh.

Malam itu saya putuskan melawan rasa lapar dan tidak saya biarkan tidak bisa tidur hanya karena perut kosong. Maka, dimalam yang sudah larut itu kusingsikan selimut kulangkahkan kaki keluar hotel berburu makanan untuk mengisi perutku yang kosong itu.

Masalahnya, tengah malam gitu kebanyakan restorant sudah pada tutup, tinggalah wareng serba ada 24 jam yang tersisa. Yang ada di benakku saat itu u ku adalah mencari mi instant yang siap disantap ha nya dengan menuangkan air panas ke dalam kemasan nya.

Mulailah saya bergerilya mengunjungi waserba 24 jam yang ada, dimulai dari yang terdekat dengan hotelku dulu. Dan seperti yang ku bilang sebelumnya, karena orang Thailand sangat menyukai sari rasa babi, dalam memilih mie instant pun aku sangat berhati-hati.

Apalagi pada saat itu, sulit mendapatkan mi instant yang sudah ada label halalnya di Bangkok.

Mi instant yang tidak ada keterangan nutrisi dalam bahasa inggris, langsung tidak saya pilih. Walaupun kemasan depan bergambar seafood, selama keterangan kandungan nutrisi tertulis dengan aksara Thailan dan tidak saya mengerti tak berani saya mengkonsumsinya. Saya dengar di Negara-negara yang banyak mengonsumsi babi, kaldu “babi” sering digunakan untuk penyedap rasa berbagai makanan.

Mi instant yang pertama yang saya lihat bergambar tomyam didepannya dan keterangan kandungan makanan ditulis dalam bahasa inggris disamping aksara Thailand. Tertulis kandungan me instant itu adalah : Wheat flour (Tepung Gandum), Vegetable oil (Minyak sayuran), salt (garam), sugar (gula), chilli powder (serbuk cabai), MSG, Garlic Powder (Serbuk Bawang Putih), Perasa tom Yam, dan bawang putih. Sekilas terlihat Mie instant ini aman untuk saya konsumsi karena tidak tertulis ada kandungan babi.

Tapi, tunggu dulu, ketika saya cermati lagi,ternyata ada kalimat lain yang tertulis di sisi lain kemasan mi instant itu yang kalau saya artikan berisi peringatan “ada babi di dalam”.

“Wah untung saja belum saya konsumsi” pikirku

Dan mulailah aku mencari mi instant lainnya dengan rasa dan merek yang berbeda-beda , kari ayam, seafood , rasa sapi. Tidak hanya di satu toko tapi di toko-toko lainnya. Anehnya di setiap kemasan mi instant yang kulihat itu, selalu ada tulisan yang kalau saya artikan berisi peringatan “ada babi di dalam”.

Ck..ck.. ck.. saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata babi sangat popular di Negara Thailand.

Apapun rasa mi-instantnya , ada babi di dalamnya. Begitu kira-kira tag line yang menggambarkan situasi pada saat itu.

Setelah lelah mencari ke sana ke mari akhirnya saya menyerah. Saya pulang ke hotel dengan tangan dan perut hampa. Sesampainya di hotel, tidak banyak yang bisa saya lakukan. Mau tidur tidak bisa. Nonton TV juga tidak nyaman karena perut kosong. Akhirnya saya luntang-lantung nggak jeals di dalam kamar Mau baca-baca juga, majalah yang ada sudah habis saya baca.

Kalau sudah begini, mulailah saya membaca tulisan apapun yang bisa dibaca. Dari brosur hotel, peta kota, bahkan daftar inventori barang-barang yang ada di kamar hotel pun saya cermati . Daftar inventory itu tertulis balam bahasa Inggris, ada piring, gelas, pembuka botol, pemanas air, pisau, sendok, babi… .

Babi? Nggak salah tuh? Ada babi di dalam kamar? Apalah maksudnya daging babi di dalam kulkas? Setelah kuperiksa, di dalam kulkas hanya tersedia minuman, tidak ada daging babi.

Hmm… pasti ada yang salah..

Untuk memastikan, kubuka kembali kamus sakuku. Siapa tahu kata Babi dalam bahasa inggris juga mempunyai makna ganda.

Yaah… akhirnya ketahuan juga di mana salahnya. Salahnya ternyada ada di otak saya.

Mungkin karena saya pernah tinggal di bumi parahyaangan selama kurang lebih 5 tahun. Di sana saya biasa mendengar huruf “F” dilafalkan seperti huruf “P”. Misalnya “Film” akan terdengar seperti “Pilem”, “Fondasi”akan terdengar seperti “Pondasi” dan seterusnya. Makanya ketika saya membaca tulisan di kemasan mi instant “Fork Inside” (ada garpu di dalam), saya membacanya sebaagai “Pork Inside” (ada babi didalam).

Begitulah teman, hanya karena terbiasa melafalkan huruf “F” sebagai huruf “P”, saya jadi tidak bisa tidur dan kelaparan tengah malam di negeri orang

**

Ketika saya memutuskan untuk “Go International” (alias jadi TKI) bekerja di negeri orang, Saya paham betul bahwa kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris , terutama dalam hal pengucapan, merupakan salah satu kelemahan saya. Pemahaman atas kelemahan ini, tidak hanya mendorong saya untuk terus berusaha menguranginya, di sisi lain, juga mendorong saya untuk mengimbanginya dengan memperkuat kelebihan yang saya miliki.

Dalam menjalani pekerjaan saya, tidak jarang saya harus berdiri di depan orang banyak, memberikan training atau mempresentasikan hasil pekerjaan saya dalam bahasa Inggris di hadapan orang-orang yang bermimpipun pakai bahasa inggris. Menghadapi situasi ini, awalnya deg-degan juga,terlebih-lebih karena saya sadar bahwa berkomunikasi dalam bahasa Inggris adalah salah satu kelemahan saya. Namun lama-lama setelah saya terbiasa mengelola kelemahan saya tersebut, ras deg-degan itu semakin berkurang. Bahkan tidak jarang saya membuka presentasi atau sesi training saya dengan pengakuan akan kelemahan saya itu yang saya kemas sebagai sebuah “Joke”/ gurauan ringan :

“I have no problem at all speaking in English. There is only one little problem, which is : usually people don’t understand what I’m talking about. But it is not my problem right?“

(Saya nggak ada masalah ngomong Inggris. Masalahnya cuma, biasanya orang-orang banyak yang nggak ngerti apa yang saya omongin. Tapi itu bukan masalah saya bukan?)

Setelah mengakui kelemahan saya, saya ajak peserta training untuk membantu saya mengatasi kelemahan saya dengan mendorong mereka untuk tidak ragu-ragu bertanya:

“So… if you have any doubt or questions, please don’t hesitate to interrupt me anytime and raise your question”

(Jadi, kalau ada hal yang meragukan atau pertanyaan, jangan ragu untuk memotong pembicaraan saya dan ajukan pertanyaan anda kapan saja)

Terakhir, sebagai timbal balik atas partisipasi peserta training dalam memahami dan membantu saya mengatasi kelemahan saya, saya biasanya tak segan – segan menyediakan waktu lebih banyak bekerja lebih keras untuk menyiapkan training material yang lebih terperinci dan semenarik mungkin.

Strategy ini kelihatannya berhasil. Feedback yang saya terima dari peserta training mengenai qualitas training yang saya sampaikan cukup positif.

Dengan demikian kekurangan saya dalam hal kekurangkefasihan pengucapan kata-kata berbahasa Inggris, tertutupi oleh keterbukaan saya untuk melayani berbagai pertanyaan dan juga training material yang saya telah saya siapkan sebaik mungkin.

Jadi teman, adalah penting untuk mengenal, menerima dan mengakui kelemahan yang kita miliki.

Di saat kita mampu mengenal, menerima dan mengakui kelemahan (weakness) kita, di saat itu pula kita akan terpacu untuk senantiasa menggali potensi dan mengasah kelebihan kita (strength) untuk mengimbangi kelemahan yang kita itu. Dengan demikian, ancaman (threat) yang mungkin ditimbulkan oleh kelemahan kita, akan dapat kita minimalisir. Lebih jauh lagi, semakin tekun kita menggali dan mengasah kelebihan yang kita miliki, semakin terbuka pula peluang-peluang (opportunity) baru yang mungkin kita raih. Dalam ilmu manajemen , kerangka berpikir seperti ini dikemas dalam sebuah teory yang dikenal luas sebagai teori analysis SWOT : Strength, Weakness, Opportunity and Threat.

Singapura, 09 Februari 2011

Mahendra Hariyanto

Friday, December 03, 2010

Piano

Piano itu sudah tua umurnya. Mungkin sudah lebih dari seratus tahun. Warisan dari kakekku dari pihak ibu. Sewaktu ku kecil piano itu sudah ada. Setelah ku punya anak kecil, piano itu pun masih ada.

Sampai saat ini piano itu masih kokoh dan bagus. Karena memang dia dirawat dan beberapa kali diperbaiki. Dulu, aslinya tuts-tuts terbuat dari gading gajah. Namun banyak yang sudah rusak termakan usia. Gading itu pun akhirnya diganti dengan kayu biasa.

Piano itu beberapa kali rusak, tidak bisa dimainkan. Beberapa kali pula piano itu diperbaiki agar bisa bersuara kembali. Sayangnya, aku bukanlah pemain piano yang pandai. Lagu-lagu yang kutahu itu-itu saja. Itupun banyak salahnya.

Piano.

Depannya P belakang nya o, ditengah-tengah ada huruf a.

Piano terdiri dua suku kata Pia dan no. Pia artinya makanan kecil (seperti bak – Pia , sum-Pia, lum-Pia) dan no artinya bukan. Jadi Piano berarti “bukan makanan kecil”. Begitulah, belajar bermain Piano memang tidak semudah menyantap makanan kecil. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa aku tidak pernah pandai bermain Piano.

Bersyukurlah kalau anda tidak percaya dengan apa yang saya tulis di alinea di atas. Sebaliknya , kalau anda percaya, tidak ada salahnya anda ke rumah sakit melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Just in case.

**

Piano itu adalah kesayangan almarhum Papa. Menjadi tempat menenangkan diri dari beratnya beban hidup yang papa hadapi. Di saat bermain piano, pikiran papa terpusat pada tuts-tuts piano agar tercipta harmoni yang indah terdengar di telinga. Di saat itulah beban berat yang membebani pikiran papa terasa menjadi lebih ringan. Begitu pula bagi yang mendengarnya. Indahnya harmoni suara piano membuat hati menjadi lebih damai.

Pelajaran pertama dari Piano itu adalah seni dan keindahan membuat batin kita menjadi lebih damai. Jadi seni adalah komponen penting dalam kehidupan kita.

Saya jadai terbayang-bayang bahwa seni bisa dijadikan sebuah solusi yang effektif meredam tawuran pelajar dan keganasan preman di Jakarta. Tawuran antar pelajar tidak hanya bisa dikurangi dengan pengawasan yang ketat, tetapi juga dengan memberikan kesempatan yang banyak bagi pelajar untuk mendalami kesenian yang diminatinya. Dikala mereka menemukan indahnya seni yang tengah mereka dalami, disaat itu pula kedamaian hati akan mereka temukan. Di saat hati damai, disaat itu pula keinginan untuk tawuran jadi berkurang.

Seperti pelajar, keganasan preman-preman Jakarta pun bisa dikurangi dengan seni. PEMDA Jakarta mungkin bisa mulai mencanangkan program pengenalan dan pelestarian seni kepada preman-preman Jakarta. Dimulai dari yang sederhana saja, yang gak usah mahal-mahal. Dimulai dari sebuah seni yang beberapa tokoh nasional dan Jakarta telah menjadi ahlinya, yaitu : Seni memelihara KUMIS.

Terbayang kalau setiap pagi, sebelum berangkat kerja ,preman-preman itu berkaca dan mengagumi indahnya kumis mereka, hati mereka mungkin akan menjadi lebih damai. Mood mereka akan menjadi lebih baik. Dan Dengan mood yang baik, mereka tentunya akan bertingkah lebih halus dan sopan. Dus, terror terhadap warga Jakarta akan berkurang. Masuk akal bukan.

“Maaf Pak, kalau mau lewat jalan ini, sudilah kiranya bapak menyumbangkan sedikit uang pada saya ,lima ratus rupiah saja….”

Begitulah kira-kira kalimat santun yang nantinya akan terucap oleh preman berkumis indah jelita.

Kembali lagi ke Piano.

Piano dibuat dengan banyak tuts. Tuts ada yang warnanya putih, ada yang warnanya hitam. Ada yang nadanya rendah ada yang nadanya tinggi. Piano terdiri dari nada-nada yang beragam. Sengaja dibuat begitu. Dengan nada-nada yang berbeda dan beragam, piano akan mampu menimbulkan bunyi indah yang beragam pula. Tak terbayang jika piano hanya terdiri dari 1 nada, betapa membosankan suaranya.

Jadi Piano sengaja dibuat dengan tuts dan nada yang berbeda-beda agar dia dapat mengeluarkan suara dan harmoni yang indah di dengar.

Pelajaran kedua dari Piano ini adalah: keberagaman adalah awal dari keindahan.

Serupa seperti piano, kiranya dunia ini sengaja diciptakan dengan penuh keragaman agar dapat tercipta harmoni kehidupan yang damai dan indah. Makanya saya heran, ketika ada sekelompok golongan tertentu mengatasnamakan Tuhan, getol menentang keberagaman atawa pluralisme. Padahal sang pencipta , Tuhan-lah yang menciptakan keberagaman itu. Paradoks.

Jika tidak dimainkan,Piano tidak pula mengeluarkan suara yang indah. Ia baru sebatas berpotensi mengeluarkan suara yang Indah. Diperlukan seorang pianis yang handal yang tahu nada apa saja, kapan dan dalam tempo yang bagaimana mereka harus ditekan agar tercipta harmoni yang Indah.

Nada yang salah ditekan pada saat yang salah menimbukan suara yang tidak enak di didengar. Nada yang benar pun jika ditekan pada saat yang salah dia akan mengeluarkan suara yang sumbang.

Jadi, pelajaran ketiga dari piano ini adalah; dari keberagaman akan terwujud keindahan di saat keberagaman itu dapat dikelola dengan baik.

Jika piano dengan kebragaman nadanya dianalogikan sebagai bangsa kita yang beragam pula, maka sang pianis dapat kita analogikan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa kita.

Hanya saja, para pianis bangsa ini belum bisa dikatakan sebagai pianis yang handal. Mereka masih sering memainkan nada yang salah di saat yang salah.

Misalnya, kelakuan wakil rakyat yang cuek bebek melanglang buana menghabiskan uang rakyat, di saat banyak yang berkeberatan, di saat banyak rakyat yang mengungsi akibat bencana alam, adalah bagaikan pianis tuli yang tidak peduli nada yang salah telah ditekan pada saat yang salah.

Ada juga sih pemimpin yang menekan nada yang benar disaat yang tepat. Keputusan SBY untuk berkantor di Yogyakarta di saat gunung merapi meletus adalah nada yang benar yang dimainkan di saat yang tepat. Nada yang terdengar menyejukkan di hati korban letusan gunung merapi.

Nada yang benar pun jika dimainkan dalam tempo dan waktu yang salah, juga akan menimbulkan suara sumbang dikalangan rakyat. Komentar SBY mengenai demokrasi dan monarki di Jogja mungkin tepat untuk mengambarkan situasi ini. Pada prinsipnya jika kita ingin menjadi Negara demokrasi yang konsisten, adalah hal yang benar untuk menerapkan system demokrasi di seluruh daerah di Indonesia. Kepala daerah selayaknya dipilih secara demokrasi pula.

Namun dalam konteks Jogjakarta , di mana Sang Sultan masih sangat dihormati rakyatnya , yang mana leluhurnya sudah beratus-ratus tahun memimpin daerah ini, agaknya saat ini belumlah waktu yang tepat untuk merubah system pemerintahan daerah ini. Jadi nada yang benarpun selayaknya tidak dimainkan sebelum waktunya.

Yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa, yang mendengar sumbangnya nada-nada yang dimainkan pemimpin kita, yang mungkin terganggu atau bahkan menderita karenanya, adalah dengan mengawasi , memberikan masukan dan kritikan yang membangun agar nada-nada sumbang itu tidak terlalu sering terdengar.

Singapura 3 Desember 2010

Mahendra Hariyanto

Sunday, October 31, 2010

Selamat Jalan

Rasa sesal itu masih tersisa.
Tidak seharusnya..
tapi begitulah,
Sesal itu menggantung enggan pergi dari dalam benakku.
Andai saja kutahu..
Andai saja ku lebih peka..
Andai saja ku mau membaca tanda-tanda .
Tentu akan berbeda jadinya.

*

Ku tahu itu.
Dikala ajal tiba,
tak satupun bisa menunda...
bukan saat ajal yang ingin kutunda,
tapi saat menemani papa ketika meregang ajal adalah saat-saat terlewatkan di mana kuingin bersamanya.
Memegang erat tangannya...
Memohon maaf atas kesalahan di saat lagi dia ada
Menuntunnya, mengucapkan syahadat , di saat napas terakhir terhembus dari paru-parunya.

*

Alhamdullilah, itulah yang kudengar dari mama.
Syahadat terucap lancar dari lidah papa
di saat napas terakhir terhembus meninggalkan tubuh papa.
Suatu tanda khuznul hotimah
Mudah-mudahan demikanlah adanya.

*

Firasat itus seseungguhnya ada.
Hanya saja ku tidak merasakannya.
Ntah kenapa, beberapa hari sebelum papa pergi
ada dorongan kuat untuk pulang
Serta merta kupaksakan kuambil cuti yang tidak pernah terencana sebelumnya.
Kuingin pulang, menengok papa yang waktu itu masih terbilang sehat.
*

Setelah kutiba,
Terjadi begitu saja..
Belum lagi kusempat menengoknya
Kondisi papa menjadi buruk.
Batuk tiada henti.
Napas terengah-engah.
Terbaring lemas di rumah sakit.
*

Empat hari ku ikut menemaninya.
Di hari ke empat kondisi papa membaik
Makan dan minumi kembali normal
Batuk jauh berkurang,
Dahak kuning mengental terbuang sudah.
Di hari itu kumohon ijin pada Papa.
Untuk tidak datang lagi hari selanjutnya.
Kuharus kembali mencari nafkah di negeri orang.
Papa tersenyum dan menganguk ikhlas melepasku pergi.
Senyum ikhlas yang belakangan kutahu menjadi senyuman terakhir kulihat dikala papa masih hidup.

**

Baru pagi itu kukembali ke negeri singa
Di kala senja harus kutinggalkan kembali negeri itu
Pulang...
Mendapati Papa telah pergi..
Terjadi begitu saja.
**

Hampir tengah malam kutiba di rumah.
Papa terbujur di tengah ruangan,
Diam tiada napas.
Kuberungut –sungut menghampirinya.
Entah kenapa.
Ketika kutatap wajah papa yang terbujur kaku
Rasa sedih itu hilang sudah
Kulihat papa telah pergi dengan damai.
Senyumnya terbersit dari wajahnya yang diam kaku.
Senyum yang seolah mengingatkanku
Ada hidup setelah mati.
**

Selamat jalan papa.
Terimakasih telah menjadi pahlawan bagi kami.
Berkorban dan berjuang tiada henti
Sampai ajal tak mengijinkammu lagi.
Kini tugasmu didunia ini telah selesai.
Beristirahatlah dengan tenang.

***

Singapura 31 Oktober 2010

Monday, September 27, 2010

Kehilangan Jabatan Karena Marah

Marah tentu ada manfaatnya. Kalau tidak, buat apa tuhan memberikannya pada kita.

Marah adalah salah satu alat yang diberikan pada kita untuk mempertahankan eksitensi kita.

Marah bagaikan api… panas dan membakar.

Api yang besar tak terkendali menjadi musuh.

Api yang besar kecilnya bisa kita atur sesuai kebutuhan menjadi sahabat .

Seperti api, marah bisa memberi manfaat, atau mudarat bergantung pada kemampuan kita mengendalikannya.


Marahnya Bung Tomo pada 10 November 1945, mampu menggerakan ribuan pemuda mempertahankan kemerdekaan.

Marahnya Mahatma Gandhi ketika diushir keluar dari gerbong kerata kelas satu yang telah dibelinya, semata-mata hanya karena kulitnya yang tidak putih, membuatnya tergerak memimpin dan mempersatukan bangsa India untuk meraih kemerdekaan.

Marahnya perlajar dan pemuda Indonesia di tahun 1966 dan 1998 , mampu meruntuhkan tirani pemerintahan orde lama dan orde baru.

**


Marah bisa diwujudkan dalam berbagai rupa.

Hardikan yang keras.

Hinaan yang lantang.

Pukulan yang melumpuhkan.

Atau , marah bisa pula diwujudkan dengan:

Diam seribu basa.

Kata-kata bermakna dalam.

Lapar dan dahaga.


Mahatma Gandhi mewujudkan marahnya dengan cara-cara yang terakhir. Tidak dengan menghunuskan pedang, tidak dengan dengan kekerasan, tidak dengan kata-kata berapi-api penuh kemarahan.


Marahnya Mahatma Gandhi diwujudkannya dengan menggerakkan rakyat India untuk menghilangkan ketergantunganny pada Kerajaan Inggris , pihak penjajag yang menjadi sasaran kemarahannya (Swadeshi Movement).

Di satu sisi, gerakan Swadeshi ini membuat pengikutnya menjadi ”lapar dan dahaga”. Supply barang dan jasa murah yang diproduksi oleh industri kerajaan Inggris tidak boleh dikonsumsi lagi. Di sisi lain, gerakan ini menumbuhkan kemandirian bangsa India. Kemandirian, yang pada akhirnya membuat bangsa Inggris terusir dari tanah India.


Jadi, marah tidak harus selalu diwujudkan dengan kekerasan. Sejarah telah membuktikan “marah yang damai” seperti yang diperlihatkan Mahatma Gandhi, telah membuat kerajaan Inggris bertekuk lutut dan terusir dari tanah India.


**

Kalau anda merasa menjadi orang biasa-biasa saja, bukan orang yang terkenal, bukan orang penting, hanya menjadi orang kebanyakan, anda tak perlu berkecil hati. Sebaliknya, ditakdirkaun untuk menjadi orang biasa , orang kebannyakan adalah suatu nikmat luar biasa yang patut disyukuri setelus hati.


Nikmat indahnya menjadi orang kebanyakan adalah: tak ada beban bagi kita untuk jujur menjadi diri kita sendiri secara apa adanya. Ketika sedih, kita bisa menangis dengan jujur sejujurnya ,ketika kita bahagia, kita bisa tertawa lepas apa adanya, dan ketika kita marah, kita bisa marah tanpa perlu bersandiwar. Tak ada yang peduli, dan mempermasalahkan kejujuran tangisan, tawa dan kemarahan kita. Kalaupun ada yang mempermasalahkan , tidak banyak jumlahnya. Jumlah yang masih terasa ringan bagi kita untuk menghadapinya.


Sebaliknya, bila anda “ditakdirkan” menjadi orang luar biasa, orang terkenal, orang-orang besar; tangis, tawa dan marah anda harus dapat dikendalikan sedemikan rupa agar tidak merugikan diri anda sendiri ataupun orang lain. Bukan tidak mungkin anda harus bersandiwara agar tawa, tangis dan kemarahan anda tidak dipermasalahkan oleh khalayak ramai.

*


Jendral Patton adalah Jendral brilian pasukan sekutu di masa perang dunia ke 2. Sang Jendral adalah komandan pasukan ke tujuh (seventh army), pasukan Amerika terbesar yang bertugas di daratan Eropa. Jenderal Patton dikenal sebagai jenderal betemperamental tinggi., emosional, terlihat gampang marah. Temperamen nya yang tinggi , sifatnya yang pemarah menyikapi prajuritnya yang dianggapnya tidak becus terebukti telah mampu secara effektif meningkatkan kinerja pasukannya di medan pertempuran.


Namun demikian, karena temperamen yang tinggi pulalah Jenderal George Smith Patton, Jr kehilangan jabatannya.


Sang Jenderal kehilangan jabatannya ketika dia tak mampu menahan emosinya menyaksikan seorang prajurit yang gemetar , menangis tersedu-sedu, mundur dari medan pertempuran dan meminta perawatan di rumah sakit di garis belakang. Padahal sang prajurit terlihat sama-sekali tak terluka. Di saat yang sama, rumah sakit yang dituju sedang kewalahan menerima banyaknya pasien korban pertempuran yang terluka berat.


Sang Jenderal menjadi marah besar. “Pengecut!!!” hardik sang Jenderal. Di tamparnya prajurit itu, diusir sang prajurit dari rumah sakit dan diperintahkan kembali ke medan pertempuran.


Sekilas, terlihat marahnya sang Jenderal dapat kita pahami. Apa jadinyanya apabila semua tentara yang sehat wa’alfiat , tidak terluka, meninggalkan medan pertempuran tanpa alas an yang jelas?

Namun kemarahan sang Jenderal terjadi di tempat dan waktu yang salah. Kejadian itu disaksikan seorang wartawan perang yang tengah meliput perang dunia ke 2 di daratan Eropa. Sang Wartawan kemudian membuat reportase mengenai pemukulan semena-mena seorang prajurit yang dilakukan oleh Jenderalnya sendiri.

Lebih parah lagi, belakangan di ketahui si prajurit yang di tampar sang Jenderal ternyata sedang menderita malaria yang membuatnya memang harus dirawat di rumah sakit.


Selang tak berapa lama setelah kejadian itu, sang jenderal akhirnya di copot dari jabatannya sebagai panglima pasukan terbesar Amerika di daratan Eropa. Publik Amerika tidak bisa menerima putra-putranya yang mempertaruhkan nyawanya di medan perang diperlakukan tidak dengan layak oleh sang panglima.


Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini adalah: kalau anda jadi orang besar, public figure, marah perlu dikendalikan. Marah yang tak terkendali di depan publik bisa merugikan diri anda sendiri.

*


Kalau Amerika punya Jenderal Patton, kita punya Jenderal SBY. Kita sering menyaksikan Jenderal SBY sering terlihat tidak ragu-ragu marah, menegur, meghardik, siapapun itu yang mengganggunya ketka dia sedang atau akan berbicara.

Ketika berpidato, dia tak ragu memperlihatkan rasa marah ,menghardik dengan keras, apabila ada yang tertidur di saat mendengarkan pidatonya yang mungkin memang membosankan.


Di lain waktu, dia juga tak ragu-ragu menghardik menteri bawahannya di depan umum ketika didapati sedang berbicara sendiri di saat dia hendak menyampaikan pengumuman penting.


Yang terakhir, yang terjadi baru-baru ini Pak SBY marah besar ketika terjadi gangguan teknis di saat sedang mengadakan acara telekonfersi dengan kepala polisi di Jawa tengah. Tidak tanggung-tanggung, dua direktur perusahaan telekomunikasi di hardiknya, dipermalukan di depan umum.


Apakah memang perlu Pak SBY mengumbar marahnya dengan hardikan yang keras, mempermalukan , merendahkan pejabat-pejabat tinggi yang dimarahinya di muka umum untuk hal-hal tidak prinsipil sperti di atas?


Kita mungkin punya pendapat yang berbeda.Mungkin banyak dari Anda mendukung sikap marah Presiden pada kejadian di atas. Di sisi lain mungkin juga tidak sedikit dari Anda yang berpendapat sebaliknya, sama seperti saya.


Rasanya tidak perlu Pak SBY yang mengumbar kemarahannya untuk hal-hal yang tidak prinsipil. Kemarahan seperti di atas selayaknya dilakukan di belakang layar, pejabat yang dianngap lalai bisa diberi teguran di belakang layar tanpa harus mempermalukannya di dedapn umum.


Marahnya Pak SBY yang meledak-ledak selayaknya bisa dikemukakan ke khalayak ramai untuk hal-hal yang lebih besar, untuk kasus pelanggaran kedaulatan NKRI misalnya.

Beberapa waktu lalu Negara tetangga menangkap petugas DKP di perairan Indonesia ketika mereka sedang bertugas menjaga kedaulatan NKRI. Entah kenapa, hardikan Pak SBY yang biasanya terdengar keras ketika menegur seseorang yang sedang tertidur ketika mendengar pidatonya, tidak terdengar untuk kasus yang satu ini.


**

Dalam ajaran Jawa, marah kepada bawahan pun ada aturannya: senyum bupati, tegur man tri, dan depak kuli.


Artinya kira-kira begini: kalau yang dimarahi memiliki tingkat kedudukan tin gkat intelektual yang tinggi (dianalogikan dengan kedudukan “bupati”), teguran dan kemarahan tidak perlu dilakukan dengan membentak-bentak dan menghardik . Cukup dengan senyuman penuh arti, sang bupati, akan mengerti kalau dirinya sedang dimarahi. Sedangkan untuk pejabat level menengah (dianalogikan dengan jabatan “mantri”), bisa dilakukan dengan teguran. Selanjutnya untuk menegur bawahan tingkat kedudukan dan intelektual yang rendah (dianalogikan dengan level kuli), teguran acap kali perlu diberikan dengan tegas dan keras agar dapat dimengerti.


Jadi, marahpun perlu dikendalikan sesuai dengan konteks, ruang dan waktu. Tidak elok rasanya , apabila seorang menteri atau seorang direktur BUMN dimarahi di depan umum seperti layaknya memarahi anak-anak sekolah dasar yang lupa mengerjakan PR-nya.

**


Saya bertanya-tanya, apa yang sebeneranya melatarbelakangi sikap Pak SBY yang tidak segan-segan mengumbar marahnya di depan umum untuk hal-hal yang terlihat kecil .


Apakah semata-mata karena tekanan pekerjaan yang besar, sehingga di waktu-waktu tertentu Pak SBY tak mampu lagi menahan emosinya menganggapi hal-hal yang terlihat kecil sekalipun?


Apakah karena Pak SBY sengaja ingin menunjukkan kekuasaannya?


Atau: Apakah Pak SBY adalah orang yang selalu mengerjakan segala sesauatunya dengan sempurna, sehingga dia juga menuntut kesempurnaan dari bawahannya?


Kalau poin terakhir yang benar, agaknya ada tujuan mulia yang hendak ingin dicapai Pak SBY dengan sikap marahnya selama ini.

Namun, perlu juga dipahami bahwa pada kenyataannya tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tidak juga Pak SBY.


Bukankah baru-baru ini kita, rakyant Indonesia dipertontonkan dengan kejadian yang cukup memalukan dimana Jaksa Agung, yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum di Indonesia, ternyata, tidak diangkat sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kejadian yang cukup memalukan bukan?


Kejadian bisa jadi disebabkan oleh kurang cermatnya, ketidak sempurnaan team yang dipimpin langsung oleh Pak SBY dalam memperhatikan hal-hal penting yang bedampak besar.


Lalu, apakah kita , rakyat Indonesia, yang memilih dan mengangkatnya sebagai Presiden, yang ikut “dipermalukan” oleh kejadian ini, pantas “menghardik” Pak SBY, seperti halnya Pak SBY menghardik menteri ataupu direktur BUMN yang dianggapnya tidak becus bekerja?


Hmm… rasanya tidak perlu. Kita seharusnya bisa berikap lebih baik daripada sekedar berteriak-terak dan menghardik. Bagaimanapun juga Pak SBY Presiden kita . Mengkritisi Presiden selayaknya dilakukan dengan santun. Misalnya melalui tulisan-tulisan tajam, berbobot dan membangun.


Pertanyaan selanjutnya. Apakah Jenderal SBY akan bernasib sama sepeti Jenderal Patton yang kehilangan jabatan hanya karena marah-marah pada tempat dan waktu yang salah?


Wah, saya tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Saya bukan peramal dan juga bukan orang yang serba tahu. Saya hanyalah orang biasanya yang penuh dengan ketidaksempurnaan.


Menyadari sebagai orang yang tidak sempurna, saya pun sadar tulisan ini juga jauh dari sempurna. Dengan demikian, di akhir tulisan ini , ijinkan saya untuk menghaturkan maaf yang sebesar-besarnya, jika ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan tulisan ini.

**


Singapura, 27 September 2010

Mahendra Hariyanto

Thursday, August 31, 2006

Bangga Menjadi Orang Indonesia

Tulisan di bawah ini pernah saya kirimkan ke rubrik KOKI Kompas, dan dimuat pada tanggal 25 Agustus 2006


Bangga Menjadi Orang Indonesia

Anda orang Indonesia?
Masih tinggal di Indonesia?
Di Jakarta?
Ke kantor naik bis- umpel-umpelan?
Lalu lintas macet?
Pernah Naik kereta super ekonomi ke Yogya or Surabaya ?
Pernah kebajiran?
Pernah dipalakin di bus sama gerombolan preman?

Kalau semua jawaban di atas = "Ya", maka saya hanya Cuma bisa berkomentar :
"Kaciaannn deh elo…"
Hi… hi.. hi… maaf-maaf, saya hanya bercanda, jangan di ambil hati.
Bukannya congkak.. bukannya sombong.. atau kagetan karena baru 2.5 tahun terakhir tinggal di Bangkok dan Singapore, terus seenak udelnya sendiri ngeledek saudara-saudara yang masih di tanah air.

Sebaliknya , dalam tulisan ini, saya ingin menghibur saudara-saudara yang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas = ya atau 80% ya. Jika demikian halnya, maka nasib Anda sebenernya tidak jauh beda dengan nasib saya. Cuma sedikit perbedaannya yaitu, bagi saya : itu nasib saya dulu, sementara bagi Anda: yah… itu nasib anda sekarang (lagi : kaciaannn deh elo… hi.. hi..hi.. ketawa jahil).

Ok, sekarang saya serius. Kalau Ada yang bertanya: apa sih yang bisa dibanggakan for being Indonesian? Maka jawaban saya adalah : Kita harus bangga karena kita orang Indonesia Bisa dan Biasa hidup susah!!!
Becanda lagi nih?
Nggak, saya Serius!! Saya nggak boong. Kalau saya boong biarkan Tuhan memberikan cobaan yang berat pada saya (red : kata pak ustadz harta yang berlimpah merupakan cobaan yang berat)

Kemampuan untuk hidup susah (saya sebut aja "survival ability" ya) tidak dimiliki orang-orang yang lama hidup di negara-negara mapan.
Boss saya (orang India) pernah cerita: suatu ketika teman-nya-sebut saja Sarukh- dan keluarganya pamit pada boss saya pulang ke negara asalnya,India yang murah meriah untuk menikmati pensiun dini, setelah 15 tahun kerja di Singapore . Eee… belum satu tahun pamitan, pulang ke India, si Sarukh sudah balik lagi ke Singapore, dan kali ini minta bantuan Boss saya untuk dicariin kerjaan lagi di Singapore.

What happened? Tanya boss saya. Sarukh bercerita, setelah pulang ke India, anak remajanya yang dibesarkan di Singapore menjadi rada-rada stress dan menjadi pasien tetap psikiater di sana. Selidik-punya selidik agaknya hal itu disebabkan karena anaknya Sarukh tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dari kondisi yang sangat mapan (Singapore) ke kondisi yang sebaliknya (India).
Jadi, dalam hal ini, anak si Sarukh yang sudah biasa hidup dalam kemapanan tidak punya "kemampuan bertahan waras" untuk hidup di negara yang belum mapan. Demi kebaikan anaknya, akhirnya si Sarukh memutuskan menunda pensiun dini-nya dan kembali kerja di Singapore.

Kalau kita-kita yang sudah biasa hidup susah di Jakarta, pindah or berkunjung ke India sih nggak ada masalah. Saya jadi ingat, 2 tahun lalu ketika saya dan rekan-rekan kerja saya berkunjung ke India, boss saya wanti-wanti untuk : bawa obat sakit perut, dan selama di India hanya minum-minuman dari botol/kaleng. Kalau ke restoran lokal jangan sekali-kali minum air putih yang disediakan dari dari teko/ceret di restoran tersbut, karena kebersihan airnya tidak terjamin, dan biasanya perut orang asing tidak siap untuk itu; begitu nasehat boss saya.
Pada waktu itu satu rombongan yang berangkat ke India terdiri dari 5 orang. Satu orang Jepang –dari Jepang, dua orang Singapore dan dua orang Indonesia (termasuk saya baru sebulan kerja di Singapore).
Dalam 2 minggu kunjungan ke India, kolega dari Singapore dan Jepang langsung menderita diare di Minggu pertama ke India. Diseliki, kemungkinan penyebabnyat adalah mereka pernah memesan kopi atau teh di restoran lokal pada saat makan siang (yang tentunya tidak dari botol). Sementara si orang Jepang, walaupun secara ketat dia hanya minum-minuman botol atau kaleng selama makan di restoran-restoran lokal, terkena diare, diduga karena si orang jepang ini menggunakan air keran dari hotel untuk berkumur-kumur selama sikat gigi. Sedangkan saya dan satu orang rekan lagi dari Indonesia, sehat walafiat tidak menderita suatu apapun selama di sana (mungkin karena di Indoneisa, sudah terbiasa jajan es dipinggir jalan yang airnya tidak lebih bersih dari air di restoran-restoran India)

What is the moral of the story?
Kita harus bangga karena Kita bisa lebih baik dari orang Jepang dan Singapore!!!! (at least, dalam hal ketahanan perut).

Cerita lainnya lagi, bulan lalu saya di kirim kantor (yang base-nya di Singapore) untuk mengikuti sebuah workshop di Rio de Janeiro Brazil. Total waktu trempuh saya dari Singapore ke hotel saya di Rio de Janeiro Brazil adalah 36 jam (termasuk 5 jam transit di Eropa). Sebenarnya, dari Singapore ke Brazil, jalur yang paling umum dan cepat adalah ke arah Timur, transit di Amerika, terus ke Brazil. Dengan jalur ini saya perkirakan, dalam 26-30 jam saya sudah bisa mencapai Brazil. Cuma, karena saya orang Indonesia, untuk transit di Amerika pun saya butuh apply VISA Amerika, yang mana proses aplikasi visa tersebut memerlukan waktu sedikitnya 2 minggu. Padahal, saya tidak punya waktu sebanyak itu. Alhasil, yah begitulah, saya harus memilih rute yang sebelaliknya, mengeliling belahan bumi bagian barat, transit di Amsterdam, dengan waktu tempuhnya 6- 10 jam lebih lama. Jadinya, cukup melelahkan, tapi nggak apa-apa, namanya juga orang Indonesia, harus terbiasa dengan hal-hal yang susah-susah.
Saya sampai di hotel di Rio, hari minggu jam 11 Malam. Dan keesokan paginya saya langsung mengikuti workshop di sana. Walaupun masih terasa lelah, saya tetap berusaha untuk terlibat aktif dalam workshop pagi itu, dengan mengajukan pertanyaan atau memberi masukan atas pertanyaan peserta lainnya. Pada saat istirahat, saya sempat berbincang-bincang dengan kolega-kolega dari Jerman peserta workshop itu. Beberapa dari mereka mengeluh kecapaian dan menderita "jet lag", karena mereka telah menempuh 12 jam perjalanan dari Jerman, dan baru saja tiba di Brazil hari minggu siang, sehingga belum cukup waktu istirahat untuk adaptasi Jet lag, begitu keluh mereka. Lalu, saya berkata pada mereka, bahwa sebenarnya mereka lebih beruntung dari saya, karena saya harus menempuh 36 jam perjalanan dari Singapore, dan baru tiba di hotel pukul sebelas malem, kurang dari 12 jam sebelum workshop dimulai. Mereka tertegun, salah seorang dari mereka bertanya pada saya:

"Tapi kamu naik pesawat, di kelas Bisnis khan?"
"Tidak, jatah saya Cuma kelas ekonomi",
jawab saya lagi.
Mereka terlihat semakin terkagum-kagum (atau kasihan?), dan salah seorang dari mereka memuji.
"Its very impressive, you guys Singaporean are really-really hard workers"
"I’m not Singaporean, I’m Indonesian working in Singapore" jawab saya dengan bangga.

Agaknya, hari itu saya menjadi cukup terkenal di kalangan kolega dari Jerman, hanya karena terbang selama 36 jam dari Singapore, baru tiba kurang dari 12 jam sebelumnya dan masih bisa secara aktif mengikuti workshop tersebut. Saya tahu kalau saya menjadi pembicaraan mereka , karena sewaktu makan malam, kolega dari jerman lainnya - yang saya tidak pernah ceritakan mengenai perjalanan saya dari Singapore – bertanya pada saya tips and trick supaya bisa tetap segar setelah menempuh perjalanan begitu lama (ini berarti dia mendapatkan cerita saya dari kolega jerman lainnya). Saya bingung jawabnya. Ingin sekali saya menjawab :

"Berlatihlah dengan naik kereta api super ekonomi dari Jakarta ke Surabaya di saat-saat mendekati hari lebaran. Kalau Anda terbiasa dengan alat transportasi ini- di mana tidak hanya species "Homo Sapiens" yang bisa menjadi penumpangnya , dan di tambah lagi waktu tempuhnya yang lama sekali karena hampir di setiap setasion harus berhenti, maka Anda akan bisa menaklukkan semua alat transportasi terbang apapun yang ada di muka bumi ini".
Namun, saya urungkan memberi jawaban di atas, karena saya khawatir dia tidak akan mengerti atas apa yang saya jelaskan, dan saya yakin mereka tidak bisa "survive" dengan alat transportasi ini, yang fasilitasnya tentu jauh dari kelas bisnis pesawat terbang (Note : kolega saya dari jerman, otomatis mendapat fasilitas kelas bisnis di pesawat apabila waktu tempuhnya lebih dari 10 jam).

Seminggu, setelah saya pulang dari Workshop di Brazil, ntah karena terkagum-kagum dengan "kemampuan hidup susah" (dari sudut pandang mereka) yang saya miliki, atau karena alasan lainnya, kolega saya dari Jerman yang saya temui di Brazil, menghubungi atasan saya yang intinya meminta saya untuk ditugaskan ke Jerman, membantu project yang saat ini sedang berjalan di sana. Alhasil, bulan September – November saya akan bergabung dengan kolega-kolega di Jerman menyelesaikan project di sana.
Cukup membanggakan, karena, kata boss saya, ini kali pertama "Kantor Pusat" meminta bantuan dari kantor cabang untuk mensupport project yang sedang mereka kerjakan di kantor pusat.

Jadi, setelah membaca tulisan ini, saya harap pembaca sekalian punya alasan semakin bangga menjadi orang Indonesia. Kalau anda lagi di luar negeri dan ditanya "Anda dari mana?" Jawablah dengan bangga:
Ya, Saya dari Indonesia,
Negara yang lagi susah,
Saya juga hidupnya susah
Tapi saya bisa "survive",
Dan saya bangga karenanya!!!Any Problem???

Mahendra Hariyanto,
Singapore, 24 Agustus 2006.
Selamat merayakan HUT kemerdekaan. MERDEKA!!!

Thursday, June 01, 2006

Dirgahayu Pancasila

Selamat Ulang Tahun Pancasila!!!!!
Semoga panjang umur....

Ketika saya menulis "semoga panjang umur", saya sedang tidak bermetafora belaka. Saya memang benar-benar sedang mendoakan semoga Pancasila tetap kokoh menjadi dasar negara kita. Karena saya merasa ada tendensi Pancasila mulai terlupakan.

Contohnya aja hari ini, 1 Juni, seharusnya diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sekarang Hampir dilupakan kayaknya..
Saya saja (sejujurnya ) baru inget 1 Juni adalah hari lahir Pancasila gara-2 baca detik.com. hari ini.
Saya jadi bertanya-tanya apakah Pancasila, butir-butir Pancasila masih diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah ke-36 butir Pancasila masih diajarkan pada generasi penerus?
Mudah-mudahan saja masih..
Jangan sampai nilai-nilai universal yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lenyap begitu saja.


Apakah Pancasila masih relevan?
Entah bagaimana dengan anda, tapi saya pribadi semakin merasakan relevansi nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan negara di Indonesia. Terlebih-lebih melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini dimana potensi perpecahaan bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan negara apabila tidak segera ditangani.
Bukankah akhir-akhir ini kita merasakan sering terjadi friksi antar organisasi kemasyarakatan yang masing-masing ‘memaksakan’ penerapan nilai-nilai yang secara eksklusif diyakininya benar tanpa mau peduli keberatan golongan-golongan lain yang punya pandangan dan nilai-nilai yang berbeda. Perdebatan berlanjut, tanpa ada ujung penyelesaian, yang bukan tidak mungkin akan memicu perpecahan bangsa Indonesia di kemudian hari.
Perpecahan itu belum terjadi, masih banyak ruang bagi kita untuk bertindak untuk mencegahnya, salah satunya adalah dengan kembali menggali dan mengmalkan nilai-nilai Universal dari bangsa kita, nilai-nilai Pancasila, yang insyaallah bisa diterima semua pihak.

Anda mungkin skeptis dengan tulisan saya diatas, dan mengangap bahwa “nilai-nilai” universal hanyalah sebuah utopia yang absatrak dari alam mimpi. Yah terserah anda jika berpendapat begitu.
Mungkin saya bisa bercerita sedikit pengalaman saya hidup di thailand, dimana nilai-nilai yang tercermin dari tindakan/ucapan/nasehat Raja benar-benar disepakati menjadi sebuah nilai universal yang disepakati bersama. Orang Thailand,entah itu Budhist/ Nasarani/ muslim/ atheis atau penjahat/preman sekalipun, ketika ditanya tentang pendapat mereka tentant Raja mereka, mereka (orang thailand) akan sepakat bahwa nlai-nilai yang tercermin dari tindakan/ucapan/nasehat Raja adalah nilai-nilai yang patut diteladani. Tidak heran, berkali-kali, raja bisa menjadi pemersatu bangsa di saat-saat negara di ambang perpecahan.


Kalau Thailand memiliki Raja, kita memiliki Pancasila sebagai pembawa nilai-nilai universal kita, yang seyogyanya harus kita lestarikan bersama.

Dirgahayu Pancasila,
Mari bersama sama kita nyanyikan lagu “Garuda Pancasila”

Garuda Pancasila
Akulah Pendukungmu
Patriot Proklamasi
Sedia berkorban Untukmu
Pancasila Dasar Negara
Rakyat Adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju-maju
Ayo maju-maju
Ayo maju-maju


Mahendra

Tuesday, December 20, 2005

Bali-ku, Bali-mu, Bali kita… ke Bali yuk!!

“BALI-ku MENANGIS LAGI”, itulah judul surat elektronik yang ditulis Komang satu hari setelah BOM Bali II Meledak 1 Oktober lalu. Dalam suratnya, selain bercerita tentang kronologis kejadian peristiwa, Komang juga berpesan pada pembaca untuk membantu pemulihan kondisi Pariwisata Bali dengan tidak membatalkan rencana kunjungan ke pulau dewata itu.
Dalam surat itu pula, Komang mengekspresikan kekhawatirannya, perasaan tak menentu membayangkan dampak terburuk yang bisa terjadi pada pariwisata dan masyarakat Bali pasca Bom Bali II :
“Kami orang Bali harus kembali ambil cangkul dan menjadi petani” begitu tulis komang

Kekhawatiran Komang bukan tidak beralasan. Bom Bali I telah merubah drastis kehidupannya. Sebelum Bom bali I meledak, Komang pernah memiliki sebuah SPA dan aroma terapi house yang cukup populer di kalangan wisatawan Australia. Selain servicenya bagus harganya pun sangat competitive.

Oktober 2002, Bom bali I meledak, ratusan turis Australia menjadi korban dalam kejadian ini. Tak heran bila turis Australia, (yang notabene merupakan pelanggan terbesar SPA-nya Komang), enggan kembali mengunjungi Bali lagi.
Dampaknya pada usaha SPA Komang pun tak terhindarkan, semakin hari bisnis spa yang sedang berkembang itupun perlahan-lahan kekurangan pengunjung. Sampai pada akhirnya, mau tidak mau , usaha SPA yang dirintis komang dari nol itu haris ditutup. Habislah sudah harta benda dan modal usaha yang telah ditanamknnya pada bisnis spa itu. Gone with the wind… I meant... Gone with the bomb..

Untuk menyambung hidupnya , Komang harus mulai lagi semuanya dari nol. Pekerjaan sebagai supir taxi merangkap pemandu wisata pun dia lakoni.
Perubahan yang sangat drastis sebenarnya, dari seorang pemilik spa yang cukup sukses menjadi seorang supir taksi.

Selanjutnya, dari pekerjaannya sebagai pengemudi taksi dan pemandu wisata, Komang bisa menyisihkan pendapatannya sedikir demi sedikit sampai akhirnya cukup untuk mengambil kredit mobil yang bisa disewakan pada wisatawan .
Kehidupan yang terpuruk jatuh pasca Bom bali I itu pun berangsur-angsur mulai membaik kembaili. Tapi itu tidak berkangsung lama. Belum lagi kondisi ekonomi pulih seperti sedia kala , Bom Bali II meledak lagi 1 Oktober lalu.
Duh apalagi ini..” pikir komang.”

Ledakan itu telah terjadi. Kekhawatiran dan bayang-bayang suramnya masa depan menghantui kehidupan Komang.

Kini, 2 bulan lebih setelah Bom Bali II meledak, Komang belum banyak merasakan tanda-tanda pulihnya Pariwisata Bali.
Sampai akhir November lalu, Order menjadi pemandu wisata yang diterima hanya ada 2 order. Satu order dibulan Oktober dan satu order lainnya di bulan November.
Cukup mengkhawatirkan memang. Jika tidak ada perbaikan, bukan tidak mungkin Komang harus banting setir lagi untuk menyambung hidupnya. Kalau Bom Bali I telah merubah hidupnya dari seoarang pengusaha muda menjadi Supir taksi, setelah Bom Bali II, Ntah harus jadi apalagi dia sekarang ….
*******
Cerita Komang di atas adalah gambaran sekelumit dampak serangan teroris pada industri pariwisata dan masyarakat Bali. Kerusakan itu telah terjadi, bukanlah hal yang mudah untuk memperbaikinya.
Namun demikian, mungkin masih ada yang bisa kita lakukan membantu Komang dan masyarakat Bali pada umumnya.
Sederhana saja, kalau memang punya waktu dan budget buat berllibur di akhir tahun ini :
Just put Bali on your itinerary list.


Taipei, 20 Desember 2005

Mahendra Hariyanto.

** Komang dalam tulisan di atas, adalah teman penulis semasa SMA di Magelang, 1990-1993.